Sudah genap tiga tahun kini aku berkepala dua. Artinya, sudah genap 23 tahun aku ada. Sudah 23 tahun pula aku belajar mengenal apapun di sekitarku. Menyelami hidupku dengan segenap retorika dan gejolak problematika yang mengiringinya. Semua nampak serasi dan wajar. Relatif mudah saja melalui dan memahami itu semua. Hanya ada satu yang sampai sekarang masih saja nampak kabur, nampak abu-abu, memusingkan, dan hingga kini aku belum bisa mengerti sepenuhnya. Yakni makhluk bernama: perempuan.
Mungkin tidak berlebihan jika aku bertanya, “Apa itu perempuan?” Akan ada banyak versi jawaban yang tersirat di benak kita semua dengan lontaran pertanyaan macam itu. Mengapa tersirat? Ya karena pertanyaan ini retoris. Andai tertulis, tentu butuh jutaan galon tinta hanya untuk menjawab secara komplit pertanyaan sesederhana itu.
Ibuku juga perempuan. Setahuku dialah yang membesarkan aku. Membelaiku ketika aku sedih. Melindungiku ketika dalam bahaya. Selalu berusaha memberikanku yang terbaik dari kedua belah tangannya. Dan dialah makhluk perempuan pertama yang aku kenal. Bahkan meski makhluk pertama yang paling dekat denganku adalah perempuan dan aku telah dilahirkan dari rahimnya 23 tahun yang lalu, kini tetap saja bercokol pertanyaan itu; “Apa itu perempuan?”
Makin ku beranjak dewasa bukannya aku makin tahu dan mengenal mereka. Justru makin bingung dibuatnya. Mereka bertebaran