Mabuk Kopi VS Mabuk Cinta
Resensi oleh:kangavuse
Pahit. Mungkin satu kata inilah yang mayoritas muncul ketika seseorang mendengar kata “Kopi”. Minuman ini digemari hampir di semua benua, justru karena rasa pahitnya yang khas. Cita rasa pahit ini diproses dengan beragam cara dan racikan hingga muncul bermacam jenis dan rasa kopi. Meski bermacam, tiap kopi selalu memiliki rasa pahit. Entah bagaimana seseorang dapat menyukai sesuatu yang pahit, menikmatinya berlama-lama, hingga seakan tiada hari tanpa merasakan pahitnya minuman ini. Tentu ‘sesuatu’ telah terjadi di dalam dirinya hingga seseorang benar-benar tak bisa hidup tanpa kopi. Mungkin demikian pula seseorang yang jatuh hati, ia akan tetap bertahan mengharap seseorang yang ia damba, meski kadang ia tahu bahwa tiada hal yang lain yang ia rasa selama ini, kecuali kepahitan demi kepahitan..
Terdengar lucu memang. Mengapa mempersamakan rasa pahit kopi dengan rasa pahitnya jatuh cinta? Sangat jauh. Bahkan cenderung terasa sebagai sebuah analogisme yang radikal. Terlalu memaksa. Tapi itulah kenyataannya. Kita disuguhkan pada satu keadaan yang menarik. Mungkin tak sedikit yang menertawakan, tetapi jika kita mau merenung dan berpikir sejenak, akan ada benang merah yang gamblang yang terpapar jelas bagaimana filosofi pahitnya kopi seolah berhubungan erat dengan pahitnya seseorang yang sedang mengejar cintanya.
Coba kita telisik sejenak. Pernahkah kita mencermati bagaimana seseorang sedang menikmati secangkir kopi? Mungkin sudah banyak dari kita yang mengetahuinya. Bahkan mungkin pula banyak dari kita yang merupakan seorang coffee addict, sehingga hal ini bukan merupakan sesuatu yang baru..
Seorang penikmat kopi sering menikmati secangkir kopinya berlama-lama. Bahkan hingga berjam-jam lamanya hingga kopi di cangkirnya benar-benar habis. Ia menikmatinya sedikit demi sedikit. Acap kali dijumpai seseorang menikmati secangkir kopi sembari melakukan pekerjaan lain, misalkan membaca koran, majalah, merokok, mendengarkan radio, menonton TV, mengerjakan tugas-tugas kampus, hingga ronda ataupun jaga malam. Hampir setiap hari selalu saja ada kopi. Hari serasa tidak lengkap tanpa hadirnya secangkir kopi. Bahkan beberapa orang benar-benar kecanduan hingga setiap harinya ia mampu menghabiskan 5-10 cangkir kopi.
Begitu pula seseorang yang sedang mengejar cinta. Berbagai hal ia lakukan demi mendapatkan pujaan hatinya. Ia setia menunggu hingga bertahun-tahun hanya demi si dia. Itupun terkadang tanpa kepastian. Upaya yang dilakukan terus menerus, meski diwarnai jatuh bangun yang sangat menyiksa batin. Meski banyak hal dan kepentingan yang mendesak, selalu saja terpikirkan mengenai si dia, seseorang yang didamba. Dan ini terus menerus dilakukan saban hari, meski sebenarnya yang diupayakan hanya berbuah kepahitan demi kepahitan yang sangat memilukan.
Malah tidak sedikit yang upayanya sangat maksimal. Meski sudah lampu merah, ia mengupayakan jalan yang lain, hingga berulang-ulang. Tak beda jauh dengan orang gila yang sudah hilang ingatan, mungkin seperti itulah orang yang mabuk cinta. Namun entah, apakah orang yang mabuk kopi juga bisa gila semacam itu? Pun sebagian dari lelaki bahkan tidak tanggung-tanggung mengejar 2, 3, bahkan lebih cinta dalam satu waktu. Memang semestinya yang semacam ini disebut “kopi darat”, atau memang karena buaya daratlah yang suka minum kopi? Pertanyaan ini terdengar bagaikan anekdot gila yang memang tepat pada tempatnya.
Memang, pahitnya kopi memang seakan menjadi candu yang sangat berat. Bagaikan cinta yang memikat hati sekaligus menyiksa seseorang seolah tanpa titik nadir, tanpa berkesudahan..
Entahlah, begitulah yang terlintas di kepalaku kala sore ini menikmati secangkir kopi capucinno. Bagiku kopi memang demikian. Makna ‘pahit’nya sangat unik. Dan ke’pahit’an itu membuatku tertawa sore ini. Senangnya dapat berbagi obrolan dengan kalian semua, meski hanya pemikiran retoris sepintas lalu. Semangat sore buat semuanya..
Mabuk Kopi VS Mabuk Cinta Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/lifestyle/food-and-drink/2129823-mabuk-kopi-vs-mabuk-cinta/
Resensi oleh:kangavuse
Pahit. Mungkin satu kata inilah yang mayoritas muncul ketika seseorang mendengar kata “Kopi”. Minuman ini digemari hampir di semua benua, justru karena rasa pahitnya yang khas. Cita rasa pahit ini diproses dengan beragam cara dan racikan hingga muncul bermacam jenis dan rasa kopi. Meski bermacam, tiap kopi selalu memiliki rasa pahit. Entah bagaimana seseorang dapat menyukai sesuatu yang pahit, menikmatinya berlama-lama, hingga seakan tiada hari tanpa merasakan pahitnya minuman ini. Tentu ‘sesuatu’ telah terjadi di dalam dirinya hingga seseorang benar-benar tak bisa hidup tanpa kopi. Mungkin demikian pula seseorang yang jatuh hati, ia akan tetap bertahan mengharap seseorang yang ia damba, meski kadang ia tahu bahwa tiada hal yang lain yang ia rasa selama ini, kecuali kepahitan demi kepahitan..
Terdengar lucu memang. Mengapa mempersamakan rasa pahit kopi dengan rasa pahitnya jatuh cinta? Sangat jauh. Bahkan cenderung terasa sebagai sebuah analogisme yang radikal. Terlalu memaksa. Tapi itulah kenyataannya. Kita disuguhkan pada satu keadaan yang menarik. Mungkin tak sedikit yang menertawakan, tetapi jika kita mau merenung dan berpikir sejenak, akan ada benang merah yang gamblang yang terpapar jelas bagaimana filosofi pahitnya kopi seolah berhubungan erat dengan pahitnya seseorang yang sedang mengejar cintanya.
Coba kita telisik sejenak. Pernahkah kita mencermati bagaimana seseorang sedang menikmati secangkir kopi? Mungkin sudah banyak dari kita yang mengetahuinya. Bahkan mungkin pula banyak dari kita yang merupakan seorang coffee addict, sehingga hal ini bukan merupakan sesuatu yang baru..
Seorang penikmat kopi sering menikmati secangkir kopinya berlama-lama. Bahkan hingga berjam-jam lamanya hingga kopi di cangkirnya benar-benar habis. Ia menikmatinya sedikit demi sedikit. Acap kali dijumpai seseorang menikmati secangkir kopi sembari melakukan pekerjaan lain, misalkan membaca koran, majalah, merokok, mendengarkan radio, menonton TV, mengerjakan tugas-tugas kampus, hingga ronda ataupun jaga malam. Hampir setiap hari selalu saja ada kopi. Hari serasa tidak lengkap tanpa hadirnya secangkir kopi. Bahkan beberapa orang benar-benar kecanduan hingga setiap harinya ia mampu menghabiskan 5-10 cangkir kopi.
Begitu pula seseorang yang sedang mengejar cinta. Berbagai hal ia lakukan demi mendapatkan pujaan hatinya. Ia setia menunggu hingga bertahun-tahun hanya demi si dia. Itupun terkadang tanpa kepastian. Upaya yang dilakukan terus menerus, meski diwarnai jatuh bangun yang sangat menyiksa batin. Meski banyak hal dan kepentingan yang mendesak, selalu saja terpikirkan mengenai si dia, seseorang yang didamba. Dan ini terus menerus dilakukan saban hari, meski sebenarnya yang diupayakan hanya berbuah kepahitan demi kepahitan yang sangat memilukan.
Malah tidak sedikit yang upayanya sangat maksimal. Meski sudah lampu merah, ia mengupayakan jalan yang lain, hingga berulang-ulang. Tak beda jauh dengan orang gila yang sudah hilang ingatan, mungkin seperti itulah orang yang mabuk cinta. Namun entah, apakah orang yang mabuk kopi juga bisa gila semacam itu? Pun sebagian dari lelaki bahkan tidak tanggung-tanggung mengejar 2, 3, bahkan lebih cinta dalam satu waktu. Memang semestinya yang semacam ini disebut “kopi darat”, atau memang karena buaya daratlah yang suka minum kopi? Pertanyaan ini terdengar bagaikan anekdot gila yang memang tepat pada tempatnya.
Memang, pahitnya kopi memang seakan menjadi candu yang sangat berat. Bagaikan cinta yang memikat hati sekaligus menyiksa seseorang seolah tanpa titik nadir, tanpa berkesudahan..
Entahlah, begitulah yang terlintas di kepalaku kala sore ini menikmati secangkir kopi capucinno. Bagiku kopi memang demikian. Makna ‘pahit’nya sangat unik. Dan ke’pahit’an itu membuatku tertawa sore ini. Senangnya dapat berbagi obrolan dengan kalian semua, meski hanya pemikiran retoris sepintas lalu. Semangat sore buat semuanya..
Mabuk Kopi VS Mabuk Cinta Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/lifestyle/food-and-drink/2129823-mabuk-kopi-vs-mabuk-cinta/