29.8.09

Dokter bukan dewa

Dokter harus benar. Salah sedikit adalah malpraktek.

Ini animo masyarakat yang dikotomi. Berdiri dalam wilayah abu-abu. Bisa ya bisa pula tidak. Bahkan kadang tendensif dan merugikan. Animo ini cenderung mem-babu-kan dokter. Sering penggunaannya tidak manusiawi. Karena perlu dicatat, dokter bukan robot. Dokter juga manusia, yang punya rasa jenuh, rasa lelah, sehingga barang tentu konsentrasi bakal jauh dari kata stabil. Mungkin banyak paradigma dan stigma yang perlu dibenahi.

Berapa banyak kasus diupload dalam media massa? Pemuatan yang selalu saja serta merta mengadopsi kata malpraktek padahal masih terlalu dini untuk dikatakan demikian. Koran, majalah, televisi, bahkan radio. Semua berlomba memojokkan dokter yang seakan didakwa salah sebelum ada proses hukum yang komprehensif. Hampir semua berita mengenai dokter yang dimuat di mass media bercerita tentang kesalahan2 dokter.

Padahal pernah terpikir? Jasa-jasa dokter seberapa besar dalam mensejahterakan dunia? Bisakah dibayangkan dunia tanpa dokter? Berapa ratus pasien telah tertolong dari tangan seorang dokter? Yang mana si dokter harus masuk koran gara2 dugaan malpraktik, sungguh miris. Agaknya jasa si dokter seperti dikesampingkan. Pemberitaannya dalam media massa dianaktirikan. Bandingkan saja dengan profesi dan jabatan lain; Pengacara X berhasil memenangkan kasus—ini menjadi berita, Presiden meresmikan jembatan X—ini juga menjadi berita, kepolisian berhasil menangkap teroris X—ini juga berita. Ini hanya beberapa contoh. Meskipun toh kejelekan dari beberapa profesi ataupun jabatan ini juga menjadi berita, tetapi pemberitaan lebih berasa berimbang; baik dan buruk. Tapi dokter?? Mana ada berita dokter X berhasil mengobati pasien A dengan tuntas dimuat dalam koran2 atau majalah2 ibukota? Ada pun itu 1000 banding 1. Ini pun mungkin termuatnya dalam majalah semi jurnal kesehatan. Hampir semuanya memaparkan tentang keburukan dan keburukan dokter. Pemberitaan yang pilih kasih seperti inilah yang cenderung menjerumuskan dokter dalam stigma negatif. Inilah efek kebebasan pers yang cenderung salah kaprah.

Memang menjadi dokter bukan suatu profesi yang mudah. Tidak setiap dokter idealis, tapi dokter dituntut untuk perfeksionis. Dokter tidak seperti tukang atau kuli yang bisa beristirahat kala lelah. Dokter juga tidak seperti pelukis atau penyanyi yang sesuka hati berkecimpung menikmati pekerjaannya hingga tak tergayut oleh tuntutan waktu. Dokter juga bukan detektif atau intelijen yang berpikir kausatif hanya di saat ada kasus. Tapi dokter adalah campuran. Suatu keharusan menjadi seorang profesionalis. Terdapat tuntutan disiplin, logis, dan taktis di sana. Pun dalam profesi, rasa seni memberi nilai lebih dalam eksistensi seorang dokter dalam keberhasilannya mengobati dan menghadapi pasien. Tuntutan profesi yang tinggi seperti inilah yang membuat posisi dokter menjadi sulit. Presiden direktur yang tidak menghadiri rapat pleno bisa diwakilkan. Dosen yang berhalangan hadir mengajar bisa meminta ganti tambahan jam pelajaran. Bahkan pembantu yang kelupaan mematikan kompor hingga wajan bolong pun masih memungkinkan ada kata maaf. Terdapat kelonggaran toleransi di sana. Tapi dokter? Sedikit saja pasien merasa dirugikan, itu malpraktek. Semua yang dilakukan dokter harus benar di mata pasien. Tidak boleh tidak. Sepertinya profesi dokter kering dari toleransi.

Disamping tidak berimbang, penggunaan bumbu2 yang berlebihan dalam pemberitaan mass media menjadikan berita sangat sensasional. Mass media kebanyakan adalah orang awam dari dunia medis. Bisa dikatakan pihak ini termasuk masyarakat umum, yang ikut merasakan pelayanan dokter. Maka memang tidak keliru ketika sedikit saja, kita ulang, sedikit saja kekurangan atau kesalahan yang sebenarnya masih bisa ditolerir dibesar-besarkan. Walaupun memang banyak pula kesalahan dikarenakan kelalaian dokter, tapi tidak semuanya demikian. Tidak semua musti dijadikan berita yang dirilis terlalu dini. Harus ada selektifitas yang memang membutuhkan pengetahuan. Apa memang kelak mass media butuh diberi pengetahuan tentang dunia medis? Entahlah. Tapi yang jelas karena keawaman dunia pers-lah menjadikan mass media sangat vokal. Animo yang tercetak atas berita yang dibesar-besarkan menjadikan masyarakat ikut-ikutan vokal. Ikut-ikutan mem-babu-kan dunia medis. Pelayanan harus selalu fit, harus oke, dengan performa penuh dan tanpa cacat. Salah sedikit vokal. Mengatakan percobaan malpraktik dan pelayanan tidak memuaskan. Ter-upload di media massa. Masyarakat yang lain menjadi tersugesti negatif, timbullah stigma negatif. Saat demikian, kenapa tidak berfikir terbalik atas kontrapretasi dunia medis terhadap masyarakat? Kalau tidak ada pelayanan medis apa masyarakat bisa hidup layak? Kenapa kita tidak saling toleransi saja? Sama2 saling membutuhkan.

“Ngono yo ngono ning ojo ngono”. Pepatah jawa ini mungkin cukup dialamatkan bagi kita semua. Bagi masyarakat, bagi dokter sebagai ikon dunia medis, dan yang paling penting pers tentunya. Pers seharusnya lebih dewasa. Lebih berkualitas. Mencetak berita boleh-boleh saja. Tapi pemaparannya harus lebih objektif dan berimbang. Karena perslah yang paling berpengaruh dalam mencetak pola pikir masyarakat. Tapi yang jelas, semua keadaan ini membuat dokter ter-skak terus menerus. Meski masih bisa melangkah. Tapi ter-skak berulang kali itu melelahkan. Apalagi musuh main caturnya anak bayi yang baru ngerti kalau memposisikan ratu punya lawan dengan biji catur miliknya sehingga terancam itu memuaskan. Padahal esensi main catur tidak sesederhana itu. Apalagi kalo akhir-akhirnya remis; benar-benar menjengkelkan.

Itulah posisi dokter. Harus nrimo disu’dzoni terus menerus. Bahkan menjadi profesi yang paling terkekang oleh zaman, meski ia termasuk yang paling dibutuhkan zaman. Menyedihkan.

Powered by Blogger.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP