The Power of 'Cecurut'
“Jangan pernah merasa takut, yang takut hanya cecurut”. Masihkah ingat ini kata-kata siapa?
Ialah almarhum Harry Roesli yang mengucapkannya dalam suatu iklan layar kaca sekitar tujuh tahun silam. Sangat sering diputar di televisi kala itu. Jadul? Kadaluwarsa? Mungkin iya bagi kebanyakan kita. Bahkan si empunya kata-kata sudah wafat kini. Tapi tidak bagiku. Kata-kata ini masih terasa hidup, fresh from the oven terus menerus. Bahkan hingga nada bicaranya pun masih terasa lekat sangat di kepalaku. Kata-kata ini berasa menohok dengan aroma sindirannya yang khas. Tidak sekali, tapi berkali-kali. Sejalan dengan keadaan psikologisku yang acap jatuh berkali-kali. Perasaan kalah sebelum bertanding. Perasaan semacam ketakutan yang sering hadir kala menghadapi suatu problematika ataupun tantangan kehidupan. Pernahkah kau merasakan hal ini? Takut mencoba, takut melangkah, terlalu bimbang untuk memulai hal baru. Kala deretan hal ini datang meneror, saat itu pula kata-kata ini hadir, entah mengapa, terngiang kembali begitu saja di kepalaku: “Jangan pernah merasa takut, yang takut hanya cecurut”.
Kata-kata ini ada dalam iklan semasa aku SMA. Iklan yang simple. Durasinya cukup pendek. Tapi cukup mengena. Apalagi bagi ‘pecundang’ bermental cecurut sepertiku. Pecundang? Ya. Aku sering menyebut diriku sendiri sebagai pecundang jika perasaan ketakutan itu hadir, membuat perasaan ciut sebelum berani melangkah. Walau pecundang, siapa mau disebut mirip tikus curut? Inilah titik cambuk tatkala kata-kata bung Harry ini terngiang lagi. Terasa begitu dalam. Sangat menyentak hingga membuatku teringat sampai saat ini.
Ketahuilah, tikus curut itu bukan tikus werog yang gedhe itu. Yang kekar. BMI-nya overload. Yang sering diminati bakul-bakul mie ayam sebagai lirikan sumber daging ‘ayam’-nya yang baru. Haha. Teringat intermezo dosenku kala masa-masa kuliah dulu, dr.Tantoro, Sp.PD, KGEH dalam kuliah internanya, dengan gaya bercandanya yang khas, menawarkan para mahasiswanya mengkonsumsi hewan pengerat itu. Memang kandungan proteinnya tinggi, tapi benar-benar jauh dari sertifikat ‘halal’ MUI. Tikus curut juga tak semenarik tikus whistar yang putih itu. Yang selalu saja menjadi primadona sample uji di lab-lab kesehatan atau penelitian. Tikus curut juga sangat jauh berbeda dengan tikus rumah yang pintar dan lihai meloncat dan memanjat itu. Pokoknya tikus curut seakan adalah penghuni kasta terendah dalam dunia per-tikusan. Mereka cenderung senang tinggal di got-got yang bau. Tikus curut sudah diciptakan dengan bau badan yang sedemikian rupa, dengan aroma khasnya yang memuakkan itu, dalam balutan tubuh mereka yang kecil hitam, sangat jauh dari kesan mungil dan menggemaskan. Entahlah. Tak ada orang yang rela disamakan dengan curut seperti itu.
Bukan berarti tulisan ini menghina dan mengintimidasi tikus curut. Tapi hidup manusia senyatanya tidak bisa dikatakan seperti curut. Curut juga tak bisa dikatakan seperti manusia. Keduanya merupakan variabel yang tidak berhubungan. Namun penggayutannya yang dipaksakan dengan sangat radikal, akan muncul semacam analogisme dengan nada ironi yang sangat menyindir. Khususnya bagi mereka-mereka yang ‘suka takut’ menghadapi problematika kehidupan. Sungguh sebuah penggunaan kata-kata dalam kontekstual yang begitu tepat, dan inilah makna lebihnya. Menjadikan kata-kata bung Harry sangat berarti di titik ini. Paling tidak hasratku pribadi lebih berkobar setelah mendengarnya. Bagaimana dengan hasratmu?
“Jangan pernah merasa takut, yang takut hanya cecurut”
Satu nilai penting yang tersirat dari kata-kata bung Harry adalah ‘keberanian’. Terkadang kita lebih suka duduk manis di area nyaman kita dan memilih untuk berpangku tangan. Terkadang kita memilih untuk bersembunyi dari masalah dan cenderung mencari cara untuk menghilangkan dari ingatan kita lebih daripada menyelesaikannya. Bahkan acap kali kita melewatkan tantangan untuk menjadi lebih baik padahal kesempatan seperti itu sering tidak datang dua kali. Semua itu nampak bagaikan tembok besar yang menghalangi jalan kita untuk jadi lebih baik. Dan bung Harry dengan kata-katanya seakan meniupkan jutaan asa pada hati kita untuk berani menerjangnya, merobohkannya.
Begitulah. Inilah apa yang kurasa kala pagi ini kata-kata itu terngiang lagi. Semoga keberanian itu hadir kembali, tidak hanya pada diriku, tapi bagi kita semua. Di hatiku dan di hatimu. Meniupkan ruh semangat yang membuncah, untuk mengarungi riak-riak kehidupan, apapun gelombang problematika yang kita hadapi. Seberat apapun skenario illahi.
Sukses untukku, untukmu, untuk kita semua. Terimakasih bung Harry.
tulisan ini juga telah dipublikasikan dalam shvoong.com