Manusia dalam teori HADO
Sholat isya malam ini tidak
berbeda jauh dengan malam malam sebelumnya. Harus duduk, belum bisa berdiri,
dan munfarid. Dua bulan kiranya harus bersabar seperti ini. Kusingkap tirai
coklat jendela kamarku, nampak sang rembulan ceria di atas sana, meski
terkungkung mega mendung yang seakan setengah iri akan pendarnya. Sepintas teringat
kala dulu seringkali banyak tersedia waktu untuk sholat berjamaah di masjid, di
kosanku yang lama. Di gang antara kosan dengan masjid Al-Manar entah mengapa
hal yang paling berkesan kala melintas adalah tatkala bulan purnama muncul. Elok
sinarnya membuat sepanjang jalan gang benar-benar terang, dan ini menghadirkan nuansa
serpihan kedamaian tersendiri bagiku.
Sholat isya malam ini semestinya juga
begitu. Tapi rupanya hatiku tak seceria rembulan yang wajahnya pulen bahagia di
atas sana. Raut sembab mukanya seakan menertawakan aku yang sedang pilu.
Menjadikanku ciut. Lembayun guyuran sinarnya yang gemilang menelanjangiku,
seakan rasa malu ini terlihat gamblang olehnya. Ahh, betapa lugasnya kurasa
skenario ilahi. Entah mengapa,terlintas begitu saja apa yang pernah kubaca dahulu
dalam buku “The Miracle of water” karya Massaru Emoto. Bahwa air berisi nasi
ketan yang diberi ucapan-ucapan yang baik, ternyata menghasilkan air tape yang
wangi, sedang yang diberi kata-kata buruk, menghasilkan nasi ketan yang
menghitam. Tapi yang menyentakkan adalah air dengan nasi ketan tanpa diberi
kata-kata apapun, ternyata menjadikan nasi ketan yang busuk dengan aroma yang
memuakkan, jauh lebih buruk daripada air dengan nasi ketan yang dicaci maki.
Artinya apa? Begitulah manusia.
Ternyata didiamkan itu menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan daripada dicaci
maki. Didiamkan artinya keberadaan seseorang adalah tidak dianggap dan
diabaikan. 70% tubuh kita ialah air. Maka sebenarnya eksistensi manusia begitu
terkait dengan sifat-sifat dasar air. Analogisme itu begitu terasa malam ini.
Dalam langkahku, begitu trenyuh diriku ketika aku sadar bahwa aku mengenyamnya;
terabaikan dan tidak dianggap.
Hati ini lara terkoyakRanum jiwa ini meredup jengahLantunan nada itu mungkin tak indah bagimuTapi aku merajutnya dengan dawai mahkotakuMembingkainya dengan roman surgawiAhh, mungkin ku salah sangkaMungkin ku salah dugaTapi ku tak peduli lagiYang kini tlah kusadari, inilah aku,.Yang terjebak dalam derit sayat hati
Hmm, syair ini cukup. Cukup
meredakan hatiku yang sudah mulai lunglai. Mungkin inilah jerit hati terakhirku
di dalam sana. Sebelum ia mulai layu, menghitam, dan membusuk seperti nasi
ketan itu.. Menebar aroma liar yang arogan, menyengat, dan tanpa maaf.