13.9.11

Manusia dalam teori HADO


Sholat isya malam ini tidak berbeda jauh dengan malam malam sebelumnya. Harus duduk, belum bisa berdiri, dan munfarid. Dua bulan kiranya harus bersabar seperti ini. Kusingkap tirai coklat jendela kamarku, nampak sang rembulan ceria di atas sana, meski terkungkung mega mendung yang seakan setengah iri akan pendarnya. Sepintas teringat kala dulu seringkali banyak tersedia waktu untuk sholat berjamaah di masjid, di kosanku yang lama. Di gang antara kosan dengan masjid Al-Manar entah mengapa hal yang paling berkesan kala melintas adalah tatkala bulan purnama muncul. Elok sinarnya membuat sepanjang jalan gang benar-benar terang, dan ini menghadirkan nuansa serpihan kedamaian tersendiri bagiku.

Sholat isya malam ini semestinya juga begitu. Tapi rupanya hatiku tak seceria rembulan yang wajahnya pulen bahagia di atas sana. Raut sembab mukanya seakan menertawakan aku yang sedang pilu. Menjadikanku ciut. Lembayun guyuran sinarnya yang gemilang menelanjangiku, seakan rasa malu ini terlihat gamblang olehnya. Ahh, betapa lugasnya kurasa skenario ilahi. Entah mengapa,terlintas begitu saja apa yang pernah kubaca dahulu dalam buku “The Miracle of water” karya Massaru Emoto. Bahwa air berisi nasi ketan yang diberi ucapan-ucapan yang baik, ternyata menghasilkan air tape yang wangi, sedang yang diberi kata-kata buruk, menghasilkan nasi ketan yang menghitam. Tapi yang menyentakkan adalah air dengan nasi ketan tanpa diberi kata-kata apapun, ternyata menjadikan nasi ketan yang busuk dengan aroma yang memuakkan, jauh lebih buruk daripada air dengan nasi ketan yang dicaci maki.

Artinya apa? Begitulah manusia. Ternyata didiamkan itu menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan daripada dicaci maki. Didiamkan artinya keberadaan seseorang adalah tidak dianggap dan diabaikan. 70% tubuh kita ialah air. Maka sebenarnya eksistensi manusia begitu terkait dengan sifat-sifat dasar air. Analogisme itu begitu terasa malam ini. Dalam langkahku, begitu trenyuh diriku ketika aku sadar bahwa aku mengenyamnya; terabaikan dan tidak dianggap.

Hati ini lara terkoyak
Ranum jiwa ini meredup jengah
Lantunan nada itu mungkin tak indah bagimu
Tapi aku merajutnya dengan dawai mahkotaku
Membingkainya dengan roman surgawi
Ahh, mungkin ku salah sangka
Mungkin ku salah duga
Tapi ku tak peduli lagi
Yang kini tlah kusadari, inilah aku,.
Yang terjebak dalam derit sayat hati

Hmm, syair ini cukup. Cukup meredakan hatiku yang sudah mulai lunglai. Mungkin inilah jerit hati terakhirku di dalam sana. Sebelum ia mulai layu, menghitam, dan membusuk seperti nasi ketan itu.. Menebar aroma liar yang arogan, menyengat, dan tanpa maaf.

Powered by Blogger.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP