23.9.11

Puzzle Itu Bernama Sejarah

“Sejarah tak bisa diubah, tapi jadikan ia sebagai pengingat”. Terngiang kembali deretan kata-kata guru sejarahku kala masih duduk di bangku SMP dulu. Sejarah adalah “History”. Berawal dari dua kata, “His” dan “Story”. Entah siapa pertama kali yang mengatakan hal ini, tapi terminologi yang terasa radikal ini ada benarnya juga. Secara paternialistik dapat diartikan bahwa sejarah adalah “His-story”, atau “ceritanya-dia”. Artinya apa? Setiap orang memiliki sejarahnya masing-masing, setiap orang memiliki versi ceritanya masing-masing. Pun ketika mereka disodorkan pada suatu peristiwa yang sama di waktu yang sama sekalipun. 
  
Satu detik yang lalu adalah sejarah. Satu detik yang lalu adalah masa lalu. 

Ya. Waktu berlalu begitu cepat. Sangat cepat bahkan lebih cepat dari laju kereta supercepat sekalipun, hingga kita tak mampu mengejarnya, bahkan untuk sekedar menyadarinya. Begitulah hidup. Beberapa waktu lalu kita adalah anak TK ingusan yang berpikiran bahwa anak SD adalah sangat dewasa. “Wow, gimana ya rasanya jadi mereka?”. Tak berapa lama kita sudah beranjak menjadi anak SD dan masih mengatakan hal serupa: “Wow, gimana ya rasanya jadi anak SMP?”. Begitupun ketika kita masuk jenjang SMA, kuliah, bahkan sampai kapanpun, pikiran ‘default’ versi 1.0 itu masih bercokol di situ. Mungkin terdengar cukup menggelikan, tapi inilah hidup. Kata orang jawa, “Urip iku ming mampir ngombe”, hidup bagaikan singgah untuk minum saja. 

Nah, kalo benar pepatah jawa yang mengatakan “urip iku ming mampir ngombe”, pertanyaan berikutnya yang mustinya terlintas adalah “Ngombe opo? (Minum apa?), Kopi,? Susu?, wedang putih? opo vodka?”, “Karo ngrokok po ora? (sambil ngrokok apa tidak?)”. Yah, pertanyaan ini seperti anekdot gila yang tidak bermutu namun jika kita pikirkan sejenak, ia punya makna tersirat yang dalam. Apa yang kita lakukan untuk hidup kita yang hanya sesaat itu ternyata sangat menentukan sejarah diri kita. Pernahkah sekedar iseng menanyakan bagaimana kisah kita semasa TK kepada orang tua kita? Atau kisah kita di mata teman sebaya kita semasa SD? Itulah sejarah kita. Itulah “history” kita, cerita kita di mata dia, yakni mereka yang ada di sekitar kita, mengenai kita, meski itu hanya sepenggal episode saja di masa lalu. 

 
Episode-episode kecil hidup kita adalah titian puzzle yang saling bertaut dan terangkai. Ada sisi-sisi puzzle gelap yang hitam dan kusam, tapi ada pula yang berwarna cerah luar biasa indah. Mugkin sempat terlintas di pikiran kita untuk memotong untaian puzzle hitam dan membuangnya. Hingga semua nampak indah berkilauan. Jangan! sekali-kali jangan. Titian puzzle itulah yang mengantarkan kita pada masa kini. Membuangnya berarti kita telah membuang kesalahan, tidak mengakuinya, dan membohongi diri sendiri. Seakan-akan untaian puzzle ‘history’ kita indah sempurna, padahal tidak. Jika kita membuangnya, kita sangat beresiko untuk mengulang kembali kesalahan kita, dan menciptakan puzzle-puzzle gelap itu lagi. Dan, entah, bakal berapa kali kita akan memotong dan membuangnya, lagi dan lagi. Semestinya kita menjadikan puzzle hitam itu tetap di tempatnya, mengakuinya sebagai kesalahan, dan menjadikannya sebagai pengingat agar kita tidak kembali mengulangi kesalahan tersebut. Itulah sebaik-baik pribadi dewasa yang bijak, yang dapat memaknai setiap hal yang terjadi dalam hidupnya, yang mampu memaknai setiap sejarah yang bergulir mengenai dirinya, entah dengan segala macam versi cerita yang tercipta. 

Maka, mari kita jalani titian hidup ini dengan baik. Mengingat puzzle-puzzle kita terdahulu. Dan menciptakan puzzle terbaik dalam hidup kita. Pun tak usah hiraukan puzzle orang lain, history, atau cerita tentang apapun, yang miring, yang renyah di telinga para tukang gossip. Jika kita ingin tahu mengenai sejarah, tanyakan pada pelaku sejarahnya jika ia masih ada, konfirmasikan, krosschek-kan. Bahkan mintalah bukti jika memungkinkan. Mempercayai tukang gossip tak ubahnya seperti kerbau dungu yang ikut-ikutan lari kala kawan-kawannya lari. Kita diberkahi pikiran, hati, dan naluri. Sungguh teramat tidak bersyukur diri kita jika kita tidak menggunakannya. Mempercayai suatu hal adalah dengan bukti, bukan sekedar opini yang terkadang sangat subjektif dan tendensif. Jika hal itu tidak penting dan tidak bermanfaat, meninggalkannya jauh lebih baik daripada mempercayai sekenanya. “Jangan bertanya untuk sesuatu yang tidak anda butuhkan”, inilah kata-kata DR.Ponijan Liaw, seorang pakar komunikasi. Konfirmasikan sebelum kita percaya, sebelum menganggap sesuatu hal sebagai fakta sejarah, mengenai seseorang yang berarti bagi kita, atau mengenai apapun yang berkorelasi, yang penting, dan mempengaruhi titian puzzle kehidupan kita. Hingga kita dapat menggunakannya sebagai tonggak sejarah, sebagai pedoman untuk membuat puzzle-puzzle kehidupan kita nantinya, untuk dapat kita contoh, ataukah kita hindari. 


Itulah makna sejarah bagiku. Makna history. ‘His’-‘Story’. Ceritanya-dia. Memang benar begitu, bahwa: “Sejarah tidak bisa diubah, tapi jadikan ia sebagai pengingat”.. 


"Jika mampu, ku ingin kembali selangkah saja. Untuk sekedar mengintip percabangan, atau mengubah halauan, hingga ku bisa menyusun puzzle terbaik kehidupanku di masa depan"
- Irfan Prasetya Yoga, selepas ashar di kala senja..
tulisan ini juga telah dipublikasikan dalam shvoong.com

Powered by Blogger.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP