Keabadian di Balik Cawan Memori
Segelas cangkir kopi hangat ini cukup untuk mengawali hari. Koran pagi juga sudah menyapa di meja. Mengusik hati tuk segera menjamahnya. Berita pagi televisi bak nyanyian burung pendatang baru, sukar tuk dilewatkan. Sementara di balik jendela, raut mentari nampak malu sebelum ia kulihat mulai berseri kini. Jajaran bunga-bunga adeniumku juga sedang terlihat sibuk menggeliat melepaskan diri dari selimut embun yang semalaman penuh menggelayuti. Ahh, memukaunya aroma pagi. Ingin kusimpan keceriaan pagi seperti ini. “Andai saja sehenyak episode pagi seperti ini bisa dipetik dan disave dalam piranti elektronik, pasti sedari dulu sudah penuh hardisk laptopku ini”, gumamku mengkhayal dalam hati. Tetapi memang, memori teramat mahal, ia tak tertebus oleh apapun. Apalagi jika memori itu terasa manis. Pasti ia lebih mahal dari emas 24 karat sekalipun.
Bicara mengenai memori memang menarik. Setiap orang pasti memilikinya. Entah itu memori manis ataupun pahit. Ilmu pengetahuan berusaha mengungkap semuanya, tentu dengan segenap teori-teori yang dibangun sedemikian rupa. Namun, sejalan dengan kutipan dalam world-mysteries.com, memori otak manusia sebagian besar masih merupakan misteri terbesar hidup ini. Penyelidikan mengenai memori masih sama sukarnya layaknya menyelidiki jagat alam raya. Andai saja memori bisa dibagi sebagaimana yang dilakukan oleh Dumbledore kepada Harry Potter melalui cawan memorinya, tentu hal ini merupakan suatu hal yang menarik. Serial yang dibuat dari tulisan tangan JK. Rowling ini semuanya hanyalah khayalan semata, semua hanyalah imajinasi-imajinasi tingkat tinggi yang mampu ia bagi melalui rentetan kata yang ia tuliskan sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah cerita yang luar biasa menginspirasi milyaran orang didunia ini. Seakan menyihir dengan kisah-kisah fiktifnya yang impossible. Termasuk khayalan bahwa memori bisa diperlihatkan kembali melalui sebuah cawan kecil, di mana si tokoh utama, Harry Potter dapat melihat semua sensasi peristiwa masa lalu dengan sangat detailnya, merasakan setiap jengkal ketegangan sepanjang episode memori yang tersimpan tersebut.
Tapi tahukah kita bahwa kisah Harry Potter inilah yang sekaligus menjawab bagaimana membagi sensasi memori kita kepada orang lain? Apa yang dilakukan JK Rowling sebenarnya menjelaskan bagaimana semestinya mentransfer memori kita kepada orang lain. Bagaimana membuat setiap orang di dunia ini mampu merasakan apa yang kita ingat, entah itu manis ataupun pahitnya skenario kehidupan. Sampai kapanpun, siapapun, bahkan hingga kita tiada. Apakah itu?
Jawabannya ternyata cukup simple: Menulis. Menulis? Ya, jawabannya adalah menulis. Bingung? Sebagian mungkin masih bingung, tapi sebagian lagi mungkin berkomentar, “Halah, nulis, apa bedanya sama cerita?”. Oh, itu lain sekali.
Tahukah kita? Tidak setiap orang yang lihai dalam bercerita mampu menuangkan ceritanya yang luar biasa itu kedalam bentuk tulisan. Tulisan tidak seperti omongan yang hanya bisa didengar oleh orang-orang yang memasang telinganya baik-baik dan mungkin bagaikan angin lalu, dilupakan begitu saja. Kenyataannya tulisan adalah bentuk bahasa tersendiri, yang langgeng, unik, dan antar orang perorangnya pasti sangat berbeda. Tulisan juga laksana sidik jari, dimana diksi atau pilihan kata, dimana majas-majas, serta penggunaan gaya bahasa sangat menentukan di sini. Menjadikan sebuah tulisan memiliki karakteristik berbeda antara satu orang dengan orang lain. Pun jika disodorkan pada sebuah peristiwa yang sama, dua orang akan menceritakan memorinya dengan tulisannya masing-masing.
Bila JK Rowling mampu menceritakan imajinasinya melalui tulisannya, tentu setiap kitapun mampu menuangkan memori melalui tulisan. Tak usah mengkhayal untuk menjadi penulis besar. Bukan di situ poin pentingnya. Tetapi mengejawantahkan memori kita menjadi sebuah cerita merupakan suatu langkah besar kehidupan. Terdengar berlebihan? Tidak sama sekali. Pernah mendengar pepatah “Aku menulis maka aku ada”? Di situlah pentingnya. Menulis adalah mengukir sejarah diri. Bagaikan prasasti, menulis seperti menancapkan tonggak penanda di bumi ini. Kapanpun, ia akan menjadi pengingat bahwa kita pernah ada, pernah menceritakan suatu episode kehidupan diri kita di suatu masa, di suatu waktu, dengan segenap kesan-kesan kisahnya. Entah satu, dua, sepuluh, ataupun 100 tahun lagi tulisan kita tetap ada meski kita telah tiada. Memori kita dengan segenap rincian peristiwa dan sensasi yang tergambarkan dari apa yang kita alami, akan tetap abadi hingga kapanpun. Perkara tulisan kita nantinya banyak diminati dan menjadikan kita sepopuler JK Rowling, itu sudah hal yang lain.
“Tapi aku tidak biasa menulis, bagaimana dong?”, ini pertanyaan retoris dan klasik. Kenyataannya kita menanyakan hal itu karena kita belum pernah mencoba. Ingatlah bahwa perubahan besar selalu dimulai dari satu langkah kecil di depannya. Sebagaimana mengendarai sepeda, apa ada bayi yang langsung bisa mengendarai sepeda begitu saja setelah lahir ke dunia ini? Tidak bukan? Begitu juga menulis. Sebenarnya setiap orang pasti bisa menulis, terlepas bagaimanapun bentuk jadinya.
Sudah sedari SD kita memegang pensil dan belajar bermacam kata, lantas sudah segedhe ini, apa tidak bisa merangkai kata? Jumlah perbendaharaan kata dengan sinonimnya begitu luar biasa banyaknya, dengan segenap gaya perangkaiannya yang unik, tersedia bermacam hiasan majas dan euphoria tampilannya. Perkara kita mau merangkainya dalam tulisan seperti apa, itu suka-suka. Itu selera kita. Orang lain suka ataupun tidak suka, itu hal yang lain, tak usah hiraukan. Terjang saja. Ingatlah bahwa kita bukan Andrea Hirata, kita bukan Habiburrahman, kita bukan JK Rowling, itu mereka. Kita menulis adalah atas diri kita sendiri. Kita membangun prasasti diri kita sendiri, bukan orang lain. Mungkin sukar di awal. Sukar karena kita tidak berani melangkah. Sebagaimana hukum Newton tentang kelembaman, sesuatu yang diam akan cenderung sukar digerakkan, tetapi sesuatu yang bergerak akan berkecenderungan untuk senantiasa bergerak terus menerus. Artinya apa? Mungkin sukar untuk membuat tulisan pertama kali. Tetapi lama kelamaan, kita bakal terlatih untuk bercerita, bahkan cenderung ketagihan untuk menuliskan narasi, termasuk menggambarkan memori yang kita alami. Beberapa orang bahkan mampu menemukan bentuk gaya tulisannya tersendiri dengan pesona yang begitu luar biasa.
Itulah hal yang tersembunyi di balik kisah cawan memori. JK Rowling sebenarnya telah menginspirasi dan menunjukkan cara bagaimana mengabadikan memori. Bukan dengan cawan memorinya Dumbledore, tetapi dengan memperkaya bahasa tulisan, dan menguntai maknanya. Hingga kita bisa menyimpannya dalam hardisk, dan mewariskan memori kita lintas generasi. Hingga dunia bisa ikut merasakan apa yang kita rasakan, kapanpun, di manapun, dan sampai kapanpun…
Bagilah memori terindahmu dengan tulisanmu, hingga tak hanya kita yang tersenyum kala kelak kita membacanya kembali. Bagilah memori terpahitmu dengan tulisanmu, hingga dunia pun turut menyediakan bahunya untuk kita berkeluh kesah.
Aku menulis, maka aku ada.
tulisan ini juga telah dipublikasikan dalam shvoong.com