Bumi Menua di Pelukanmu
Matahari pun meredup jengah, tak kuasa peraduannya direnggut
paksa. Gumulan hitam itu mulai meringsek langit Jogjakarta. Bagaikan ombak
dengan berton-ton jelaga, mendung hitam sekonyong-konyong menghampar cakrawala.
Mendekap kota tua yang telah sekian lama gersang dari buaian rintik hujan. Kerinduan
itu hampir datang. “Ah, hampir hujan”, gumamku.
Ya begitulah. Hujan bagaikan emas yang selalu dinanti. Namun
sayangnya, meski akhir-akhir ini hujan sering datang, tetapi tidak begitu lama,
hari tetap berlanjut terik yang menyengat dan sangat menyebalkan. Cuaca yang
tidak menentu membuat banyak hal berubah. Sadarkah kita? Mungkin akhir-akhir
ini diantara kita ada yang lebih cenderung suka air es, konsumsi minuman dingin
meningkat, jadwal mandi berubah menjadi 3x sehari atau lebih, lebih sering
berganti baju, atau bahkan mematung di depan kipas angin hingga berjam-jam?
Itu bagi kita. Bagi dunia? Suhu bumi kian meningkat, es
kutub mencair, banyak biota tergusur dan punah, dan masih banyak lagi rentetan
dongeng akibat pemanasan global. Ya, beberapa fakta itu lebih mirip dongeng
ketimbang sebuah hal genting yang mengejutkan bagi kita. Entah apa cara
penyampaiannya yang salah, atau memang hati manusia yang mengeras termasuk efek
dari pemanasan global? Indonesia sudah masuk Guiness Book of Record. Mungkin
kita akan langsung berpikir hal itu sebagai sebuah kebanggaan. Padahal kita
telah tercatat berprestasi dalam melumat hutan di mana tiap jamnya, seluas 300
lapangan sepak bola hutan di Indonesia terbabat habis. Memalukan? Ataukah
sebuah kebanggaan? Mungkin memang penelitian terkait hubungan efek pemanasan
global terhadap kerasnya hati manusia harus dilakukan. Penelitian yang
terdengar lebih sebagai anekdot retoris bernada sarkastik.
Konsep Go Green terlampau rumit dijalankan. Terlalu
konseptual dan hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang fanatik terhadap
kelestarian alam. Yang tidak paham bisa jadi turut serta pula dalam kegiatan Go
Green: Pabrik-pabrik dicat hijau, cerobong asap dicat hijau, mobil, motor, dan
kereta api dicat hijau, Mall dan Supermall dicat hijau,. “Go Green!! Ya.. Hidup
Go Green!!”. Haha. Bukankah itu masih sejalan dengan slogan Go Green? Sangat
mengawan, jauh dari akar rumput, dan tidak merakyat. Bisa-bisa kebodohan
seperti itu menjadi demam dan latah yang berlarut-larut.
Lalu rumus apa yang harus dijalankan untuk menghentikan laju
pemanasan global? Ya setidaknya cuaca bisa dihitung lagi secara matematika; April
– September kemarau, Oktober-Maret penghujan. Atau setidaknya bisa
mengembalikan cuaca supaya tidak separah ini? Adakah rumusan itu?
Sayang seribu sayang. Jawabannya adalah tidak ada. Kita hidup
adalah mengenyam dunia yang sedang dalam proses menua. Ia ‘sedang mati’. Tak
usah terlalu idealis, sefanatik apapun usaha yang kita kerjakan, tak akan
mengubah kondisi bumi menjadi lebih baik, bahkan mengembalikannya lebih baik
satu detik yang lalu sekalipun. Kita hanya bisa memperlambat laju kematiannya
saja. Bukan berarti pasrah, tulisan ini hanya ingin melukiskan betapa egoisnya
manusia. Betapa tamaknya manusia hingga melacurkan habitatnya sendiri. Kita
mengeluh mengenai hal buruk yang sebenarnya kita buat sendiri. Ini adalah
kontribusi estafet dari pendahulu kita dan secara teori, kita ulangi secara
teori, bilamana kita bisa menghentikan estafet buruk kelakuan kita, maka dampak
pemanasan global itu akan terhenti.
Tapi begitulah teori. Ia akan selalu menjadi kajian yang renyah
dipelajari dan diperdebatkan di bangku kuliah. Tidak lebih. Senyatanya teori-teori itu tak mampu menghambat laju pembabatan
hutan. Kuliah itu sendiri membutuhkan kertas yang mau tidak mau didapat dari pembabatan
hutan. Lucu bukan? Kita berkutat pada hal yang sia-sia. Teori-teori itu tak
mampu menghambat eksploitasi minyak. Mungkin memang suatu saat eksploitasi
minyak berhenti. Namun bukan karena teori-teori itu, tetapi karena memang cadangan
minyak sudah habis dan bumi sudah dalam kondisi terpuruk. Begitulah, bisakah
manusia berhenti total dari rokok, AC, sabun mandi, maupun komputer? Cukup.
Semua dari kita tentu tidak mau kembali menjadi tarzan yang sohiban dengan
gorilla dan gemar memakan pisang di hutan. Akuilah bahwa manusia adalah makhluk
paling munafik di muka bumi ini. Keberadaanya hanya akan memberi kerusakan bagi
bumi ini.
“Malaikatpun bertanya: “Adakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui akan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (Al-Baqarah 30)
Nah mungkin ayat inilah yang mendinginkan kita. Sebagaimana
hujan siang ini yang mulai deras turun membasahi bumi. Eksistensi manusia
memang digariskan begitu. Bukan berarti tulisan ini mengkambinghitamkan sebab
pemanasan global pada garis takdir Tuhan, tetapi lebih diperuntukkan bagi kita
untuk memaknai gejala alam sebagai tanda kebesaran Tuhan. Cintai bumi kita,
paling tidak kesadaran kita akan memberinya nafas panjang sekali lagi.. Heal
the world!
tulisan ini juga telah dipublikasikan dalam shvoong.com