5.10.11

Filosofi Semar dan Togog


Suasana tiba-tiba lengang dengan sebersit nuansa kejawen yang sarat mistik dan bagaikan sihir, semua mata terpesona. Aroma diskusi politik yang memang lumrahnya panas dan tegang tiba-tiba saja sekian detik berubah sunyi mencekat. Nuansa dingin sekonyong-konyong menyeruak begitu saja. Jakarta Lawyers Club malam ini terasa begitu lain tatkala dua figur tokoh wayang Semar dan Togog tiba-tiba saja dihadirkan di tengah diskusi.

“Lihatlah, lihat dengan mata batin.. Mana yang lebih terasa sejuk di hati? apakah Togog, ataukah Semar? Dalam pewayangan kita memang sudah tahu, Togog itu pengikut kebathilan dan Semar adalah pengikut kebenaran. Tapi cobalah berandai-andai misal kita sedari awal tidak tahu mana yang orang benar dan mana yang orang salah, maka Anda semua pasti tetap bisa merasakan, dari tutur kata, sikap, tindak-tanduk, pola pikir,. mana dari kedua figur ini yang lebih sejuk?”, logat khas bak dalang kondang terdengar lantang.

Ia melanjutkan, “Sudah, jangan katakan Anda milih mana dari dua figur ini, mana yang lebih nyess, lebih nyaman disawang, simpan di hati Anda masing-masing. Ini karena memang bukan untuk diutarakan.. Inilah ngilmu rosoning ati. Ditularkan blood to blood. Yang mana tiap dari kita pasti punya. Kalau partai Demokrat orang-orangnya ‘terasa’ seperti ini (Togog) lebih banyak ketimbang yang ini (Semar), maka sudah saatnya revolusi terjadi. Itu tinggal menunggu waktu.” Dengan tatapan sangar, matanya yang mblorok menerawang dua figur di tangannya itu bergantian dengan mimik sedemikian rupa. Seakan menelanjangi keduanya di depan para narasumber dan penonton agar dapat terlihat lebih jelas.

“Ingatlah, bolehlah kita berputar-putar, berdiskusi mengadu argumen di sini, yang mungkin semuanya nampak ‘benar’ di mata teori. Seakan semuanya benar dengan parameter ‘teori kebenaran’ yang kita bangun sendiri. Tetapi ingat, itu semua hanya teori, ketika sudah berada di lapangan, ilmu blood to blood, ilmu titen rasaning ati itu lebih OK, tidak mungkin bisa dibohongi, mana benar mana salah lebih mudah dinilai dengan hati, lebih daripada parameter-parameter teori yang acapkali kaku dan ambigu itu”. 

Semua deretan kata-kata ini terasa sangat berkarakter. Si empunya wejangan, Sudjiwo tedjo, memang pribadi yang luar biasa. Kemampuan budayawan ulung ini dalam berkomunikasi seperti menyihir tiap insan yang mendengarnya. Gaya bicara diiringi sikap tubuh sedemikian rupa praktis memunculkan kharisma tersendiri di tengah panggung diskusi politik malam ini. Jakarta Lawyers Club seperti disulap sekian detik menjadi panggung teater monolog yang membisu.

Aku yang memegang remot televisi pun turut terpaku, sekian detik turut terdiam serius melihat layar kaca di depanku. Kata-kata budayawan sangar itu cukup mengena. Sungguh sarat makna. Kalimat demi kalimat meluncur deras menohok tanpo teding aling-aling nurani-nurani para politikus negeri ini. Seakan sontak menelanjangi, membuka topeng kedunguan wajah politik negeri ini yang memang sangat kering dari penggunaan hati nurani.

Manuver tajam, serangan-serangan, dan hujat menghujat yang baru saja sengit dipertontonkan seakan terasa muspro, terasa sebagai suatu hal yang tiada guna. Diskusi panas yang membolak-balikkan nalar dan meruda paksa pemikiran yang baru saja terjadi laksana parodi pertengkaran anak kecil saja, semua ngotot benar sendiri, tak ada yang mau mengalah. Dan Sudjiwo Tedjo, dengan pesona sangarnya mampu memberikan tanggapan atas kebuntuan itu. Bahwa kita sering terlalu berputar-putar mempertahankan sesuatu hal yang fiktif, terlalu beradu pendapat yang dikemas dengan comotan teori-teori ini itu yang notabene adalah hasil buatan tangan-tangan kita sendiri. Seringkali terlampau prosedural membuat kita menjadi amoral. Hingga kita lupa bahwa apa yang kita lakukan tidak berdasar hati nurani. Hingga hasil keadilan versi kita dan langkah-langkah perpolitikan seakan tak lebih dari sekedar lelucon di panggung drama yang penuh dosa.

Kenyataannya memang demikian. Politik adalah ladang dosa. Dunia politik selalu sarat intrik. Bagaikan dunia dalam lingkup yang serba liar, jika tak mau makan ya pasti dimakan. Seseorang menjadi lebih terbuka lebar untuk melakukan ‘tipu-tipu’ ketika berada di dunia politik dalam memperjuangkan apapun misi yang diembannya. Meski toh ada juga yang berhati mulia, tetapi lebih mudah menjumpai politisi busuk karena senyatanya orang bakal lebih mudah memanen dosa saat ia berada di dunia politik. Hati nurani serasa dianaktirikan dalam dunia yang penuh sandiwara ini. Bukan suatu hal yang berlebihan jika kata ‘politik dan politikus’ cenderung lebih terasa sebagai bahasa kias dari ‘tukang kibul kelas kakap’. Tak heran, seringkali kita temui pembahasan atau penyelesaian suatu masalah yang semestinya gampang menjadi berbelit, dan kadang mencederai hati nurani. Tak sedikit yang jelas-jelas orang awam pun tahu dan bisa menilai dengan mudah bahwa suatu hal adalah salah, tetapi bisa sekonyong-konyong berubah benar di mata hukum setelah pemrosesan ‘geje’ bin aneh yang kadang pun dijalankan dengan proses penuh liku yang terlampau lama. Itulah sentuhan politik. Suatu hal salah bisa disulap menjadi benar dengan sentuhan politik. Begitupun sebaliknya, hal salah bisa menjadi benar sekejap mata dengan sentuhan ajaibnya. Tentu semua ini bisa terjadi karena busuknya tendensi yang melatarbelakangi. Maka sudah benar bukan, bahwa tiada tempat lagi bagi hati nurani untuk dapat bebas berteduh di dunia semacam ini?

Itulah yang ingin dikatakan oleh Sudjiwo Tedjo. Politik sudah kehilangan hati nurani. Bahwa mungkin di mata hukum seseorang tak bisa dikatakan salah, atau malah kebal hukum, tetapi di mata hati nurani, sebenarnya kita sudah mampu untuk merasakan. Kita bisa menilai, setidaknya meraba seseorang itu baik ataukah buruk, pemrosesan suatu perkara janggal ataukah tidak, dan hal yang lebih penting adalah penghargaan atas keadilan itu sendiri. Politisi seringkali cekcok kala beda pendapat, cenderung memaksakan kehendaknya masing-masing, seakan berputar-putar di angkasa, berkutat pada debat adu argumen atas teori pembenaran ala mereka sendiri. Maka dengan kedua tokoh pewayangan Semar dan Togog ini, Sudjiwo Tedjo ingin para politisi membumi, kembali menggunakan hati nuraninya yang lembah manah

Sebenarnya tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam pewayangan bahwa Semar adalah tokoh pembela kebenaran dan Togog adalah antek-antek kejahatan. Predikat itu muncul tatkala kita melihat utuh, bagaimana kisah sang semar, bagaimana kisah Togog, bagaimana tutur katanya, sikapnya, tindak-tanduknya, serta pola pikir mereka, hingga nurani kita mampu berbicara bahwa Semar itu baik dan Togog itu jahat. Itulah bahasa hati. Bukan untuk diucapkan, tetapi dirasakan. Tiap-tiap dari kita sudah dibekali kemurniannya semenjak lahir ke dunia ini. Tak usah mempertanyakan bagaimana prosesnya bisa menilai seperti itu. Itu sudah anugrah Tuhan kepada kita untuk kita dengarkan kala menghadapi problematika kehidupan.

Bahasa hati adalah bahasa paling jujur yang tak akan membohongi. Hanya saja suaranya makin kecil kini, makin hilang karena pekatnya pemikiran tentang hasrat duniawi. Suaranya kian lirih tatkala ia tak lagi didengarkan. Ia bahkan bungkam tatkala kriteria benar dan salah hanya ditentukan atas teori-teori buatan tangan manusia yang tentu tak luput dari cacat dan kekurangan, sebagaimana metode-metode seperti inilah yang lebih digandrungi di dunia politik. Andai saja hati nurani kembali bersuara di benak para politisi, mungkin panggung politik tak sekisruh kini. Ataukah memang dunia politik sendiri yang mengharuskan tiap-tiap politisinya untuk membungkam hati mereka? Entahlah. Coba tanyakan pada hatimu kawan. Masihkah kau mendengar jawaban dari benakmu? Masihkah kau dengar suara hati nuranimu? Atau jangan-jangan ternyata hatimu juga turut bungkam kini??

Jagalah hati, jangan kau nodai, jagalah hati cahaya illahi


Powered by Blogger.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP