Filosofi Semar dan Togog
Suasana
tiba-tiba lengang dengan sebersit nuansa kejawen yang sarat mistik dan bagaikan
sihir, semua mata terpesona. Aroma diskusi politik yang memang lumrahnya panas
dan tegang tiba-tiba saja sekian detik berubah sunyi mencekat. Nuansa dingin sekonyong-konyong
menyeruak begitu saja. Jakarta Lawyers Club malam ini terasa begitu lain
tatkala dua figur tokoh wayang Semar dan Togog tiba-tiba saja dihadirkan di
tengah diskusi.
“Lihatlah,
lihat dengan mata batin.. Mana yang lebih terasa sejuk di hati? apakah Togog,
ataukah Semar? Dalam pewayangan kita memang sudah tahu, Togog itu pengikut
kebathilan dan Semar adalah pengikut kebenaran. Tapi cobalah berandai-andai misal
kita sedari awal tidak tahu mana yang orang benar dan mana yang orang salah, maka
Anda semua pasti tetap bisa merasakan, dari tutur kata, sikap, tindak-tanduk,
pola pikir,. mana dari kedua figur ini yang lebih sejuk?”, logat khas bak
dalang kondang terdengar lantang.
Ia
melanjutkan, “Sudah, jangan katakan Anda milih mana dari dua figur ini, mana
yang lebih nyess, lebih nyaman disawang, simpan di hati Anda
masing-masing. Ini karena memang bukan untuk diutarakan.. Inilah ngilmu rosoning ati. Ditularkan blood to blood. Yang mana tiap dari kita
pasti punya. Kalau partai Demokrat orang-orangnya ‘terasa’ seperti ini (Togog)
lebih banyak ketimbang yang ini (Semar), maka sudah saatnya revolusi terjadi.
Itu tinggal menunggu waktu.” Dengan tatapan sangar, matanya yang mblorok menerawang dua figur di
tangannya itu bergantian dengan mimik sedemikian rupa. Seakan menelanjangi
keduanya di depan para narasumber dan penonton agar dapat terlihat lebih jelas.
“Ingatlah,
bolehlah kita berputar-putar, berdiskusi mengadu argumen di sini, yang mungkin
semuanya nampak ‘benar’ di mata teori. Seakan semuanya benar dengan parameter ‘teori
kebenaran’ yang kita bangun sendiri. Tetapi ingat, itu semua hanya teori,
ketika sudah berada di lapangan, ilmu blood
to blood, ilmu titen rasaning ati
itu lebih OK, tidak mungkin bisa dibohongi, mana benar mana salah lebih mudah
dinilai dengan hati, lebih daripada parameter-parameter teori yang acapkali
kaku dan ambigu itu”.
Semua
deretan kata-kata ini terasa sangat berkarakter. Si empunya wejangan, Sudjiwo
tedjo, memang pribadi yang luar biasa. Kemampuan budayawan ulung ini dalam
berkomunikasi seperti menyihir tiap insan yang mendengarnya. Gaya bicara diiringi
sikap tubuh sedemikian rupa praktis memunculkan kharisma tersendiri di tengah
panggung diskusi politik malam ini. Jakarta Lawyers Club seperti disulap sekian
detik menjadi panggung teater monolog yang membisu.
Aku
yang memegang remot televisi pun turut terpaku, sekian detik turut terdiam
serius melihat layar kaca di depanku. Kata-kata budayawan sangar itu cukup
mengena. Sungguh sarat makna. Kalimat demi kalimat meluncur deras menohok tanpo teding aling-aling nurani-nurani
para politikus negeri ini. Seakan sontak menelanjangi, membuka topeng kedunguan
wajah politik negeri ini yang memang sangat kering dari penggunaan hati nurani.
Manuver
tajam, serangan-serangan, dan hujat menghujat yang baru saja sengit
dipertontonkan seakan terasa muspro,
terasa sebagai suatu hal yang tiada guna. Diskusi panas yang membolak-balikkan
nalar dan meruda paksa pemikiran yang baru saja terjadi laksana parodi pertengkaran
anak kecil saja, semua ngotot benar sendiri, tak ada yang mau mengalah. Dan
Sudjiwo Tedjo, dengan pesona sangarnya mampu memberikan tanggapan atas
kebuntuan itu. Bahwa kita sering terlalu berputar-putar mempertahankan sesuatu
hal yang fiktif, terlalu beradu pendapat yang dikemas dengan comotan
teori-teori ini itu yang notabene adalah hasil buatan tangan-tangan kita
sendiri. Seringkali terlampau prosedural membuat kita menjadi amoral. Hingga
kita lupa bahwa apa yang kita lakukan tidak berdasar hati nurani. Hingga hasil
keadilan versi kita dan langkah-langkah perpolitikan seakan tak lebih dari
sekedar lelucon di panggung drama yang penuh dosa.
Kenyataannya
memang demikian. Politik adalah ladang dosa. Dunia politik selalu sarat intrik.
Bagaikan dunia dalam lingkup yang serba liar, jika tak mau makan ya pasti
dimakan. Seseorang menjadi lebih terbuka lebar untuk melakukan ‘tipu-tipu’
ketika berada di dunia politik dalam memperjuangkan apapun misi yang
diembannya. Meski toh ada juga yang berhati mulia, tetapi lebih mudah menjumpai
politisi busuk karena senyatanya orang bakal lebih mudah memanen dosa saat ia berada
di dunia politik. Hati nurani serasa dianaktirikan dalam dunia yang penuh
sandiwara ini. Bukan suatu hal yang berlebihan jika kata ‘politik dan
politikus’ cenderung lebih terasa sebagai bahasa kias dari ‘tukang kibul kelas kakap’. Tak heran, seringkali
kita temui pembahasan atau penyelesaian suatu masalah yang semestinya gampang
menjadi berbelit, dan kadang mencederai hati nurani. Tak sedikit yang
jelas-jelas orang awam pun tahu dan bisa menilai dengan mudah bahwa suatu hal
adalah salah, tetapi bisa sekonyong-konyong berubah benar di mata hukum setelah
pemrosesan ‘geje’ bin aneh yang
kadang pun dijalankan dengan proses penuh liku yang terlampau lama. Itulah
sentuhan politik. Suatu hal salah bisa disulap menjadi benar dengan sentuhan
politik. Begitupun sebaliknya, hal salah bisa menjadi benar sekejap mata dengan
sentuhan ajaibnya. Tentu semua ini bisa terjadi karena busuknya tendensi yang
melatarbelakangi. Maka sudah benar bukan, bahwa tiada tempat lagi bagi hati
nurani untuk dapat bebas berteduh di dunia semacam ini?
Itulah
yang ingin dikatakan oleh Sudjiwo Tedjo. Politik sudah kehilangan hati nurani.
Bahwa mungkin di mata hukum seseorang tak bisa dikatakan salah, atau malah kebal
hukum, tetapi di mata hati nurani, sebenarnya kita sudah mampu untuk merasakan.
Kita bisa menilai, setidaknya meraba seseorang itu baik ataukah buruk,
pemrosesan suatu perkara janggal ataukah tidak, dan hal yang lebih penting
adalah penghargaan atas keadilan itu sendiri. Politisi seringkali cekcok kala
beda pendapat, cenderung memaksakan kehendaknya masing-masing, seakan
berputar-putar di angkasa, berkutat pada debat adu argumen atas teori
pembenaran ala mereka sendiri. Maka dengan kedua tokoh pewayangan Semar dan Togog
ini, Sudjiwo Tedjo ingin para politisi membumi, kembali menggunakan hati nuraninya
yang lembah manah.
Sebenarnya
tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam pewayangan bahwa Semar adalah
tokoh pembela kebenaran dan Togog adalah antek-antek kejahatan. Predikat itu
muncul tatkala kita melihat utuh, bagaimana kisah sang semar, bagaimana kisah Togog,
bagaimana tutur katanya, sikapnya, tindak-tanduknya, serta pola pikir mereka,
hingga nurani kita mampu berbicara bahwa Semar itu baik dan Togog itu jahat.
Itulah bahasa hati. Bukan untuk diucapkan, tetapi dirasakan. Tiap-tiap dari
kita sudah dibekali kemurniannya semenjak lahir ke dunia ini. Tak usah
mempertanyakan bagaimana prosesnya bisa menilai seperti itu. Itu sudah anugrah
Tuhan kepada kita untuk kita dengarkan kala menghadapi problematika kehidupan.
Bahasa
hati adalah bahasa paling jujur yang tak akan membohongi. Hanya saja suaranya
makin kecil kini, makin hilang karena pekatnya pemikiran tentang hasrat
duniawi. Suaranya kian lirih tatkala ia tak lagi didengarkan. Ia bahkan bungkam
tatkala kriteria benar dan salah hanya ditentukan atas teori-teori buatan
tangan manusia yang tentu tak luput dari cacat dan kekurangan, sebagaimana
metode-metode seperti inilah yang lebih digandrungi di dunia politik. Andai
saja hati nurani kembali bersuara di benak para politisi, mungkin panggung
politik tak sekisruh kini. Ataukah memang dunia politik sendiri yang mengharuskan
tiap-tiap politisinya untuk membungkam hati mereka? Entahlah. Coba tanyakan
pada hatimu kawan. Masihkah kau mendengar jawaban dari benakmu? Masihkah kau
dengar suara hati nuranimu? Atau jangan-jangan ternyata hatimu juga turut bungkam
kini??
Jagalah
hati, jangan kau nodai, jagalah hati cahaya illahi