Taburan Bintang di Atap Kamar
Jutaan bintang bertaburan
menghiasi supermoon. Kilaunya memikat hati, seakan lengkap menghiasi sang
rembulan yang memang terlihat lebih besar, dengan paras cantik yang nampak
tersipu malu menyambut jutaan pasang mata yang menyaksikannya. Bulan memang
primadona malam ini, tapi kerlip hamparan bintang di langit yang bersih
bagaikan permadani yang luar biasa luas, cukup memukau dan memanjakan
ketentraman hati bagi siapapun yang memandangnya.
“Bintang di langit, kerlip engkau
di sana. Memberi cahayanya di setiap insan..”
Lagu ini keluar begitu saja
mengiringi euforia ketakjuban panorama malam yang mengagumkan. Tiba-tiba entah
darimana, memoriku terbawa pada sederet kata-kata ‘orang penting’ negeri ini: “Indonesia ini aneh, kita diajari
belajar tinggi, bercita-cita tinggi, harapan yang muluk-muluk setinggi bintang
di langit. Tapi kita tidak diajari mengenal apa itu kekecewaan. Padahal di
balik setiap harapan dan cita-cita, selalu ada kekecewaan”
Itu adalah kata-kata Bob Sadino,
seorang entrepreneur sukses yang terkenal ‘nyeleneh’ dan kritis dalam suatu
acara TalkShow layar kaca beberapa saat lalu. Kata-katanya praktis menempatkan
dirinya secara frontal bertentangan dengan arus paradigma pendidikan negeri
ini. Bukankah sedari SD kita disuruh untuk menggantungkan cita-cita kita
setinggi bintang di langit?
Ya. Pada kenyataannya pendidikan
Indonesia mengajarkan kita untuk berkhayal dan berimajinasi tinggi,
menggantungkan asa dan cita setinggi bintang di langit, sebenarnya ini tidak
menjadi masalah. Tetapi yang menjadi persoalan adalah pendidikan kita tidak mengajarkan
apa resikonya. Pendidikan Indonesia mengajarkan begitu banyak harapan,
berekspektasi positif, berimajinasi setinggi mungkin. Namun lupa untuk
mengajarkan apa itu kekecewaan, bagaimana mengatasi kekecewaan, dan segala
resiko kekecewaan terkait harapan-harapan yang tak tergapai, yang sudah telanjur
ditempelkan di atap langit sana. Serasa tidak berimbang, berat sebelah, dan
jauh dari realistis.
Tak mengherankan jika pendidikan
negeri ini banyak memberi lulusan-lulusan ‘galau’. Tidak mau kecewa dengan
upayanya, akhirnya memakai cara-cara instan, demen segala hal yang berbau instan
dalam menggapai sesuatu. Melahirkan pribadi-pribadi doyan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Pokoknya target tujuan yang dimaui harus terlaksana, entah dengan
cara apapun. Jika gagal? Tengok saja rumah sakit jiwa, berapa banyak anggota
calon legislatif yang masuk ke sana untuk direhabilitasi tiap putaran pemilihan
pemimpin wilayah, entah setingkat daerah, provinsi, maupun taraf nasional. Apa
itu kalo bukan lulusan-lulusan ‘galau’? Ini hanya yang ‘besar-besar’, fenomena
yang mudah diamati. Jauh di akar rumput sana, bagaikan fenomena gunung es,
lebih banyak lagi kasus-kasus ‘kegalauan’ ini terjadi.
Siapa yang salah sebenarnya?
Entah, yang jelas sistem
bertanggung jawab pada kualitas produk yang tercetak. Kalau mesinnya saja tidak
proporsional, bagaimana bisa mengharapkan standar produk yang berkualitas? Bahkan,
bicara soal produk, ada berapa juta lulusan sarjana dan diploma yang
pengangguran di negeri ini? Jadi kita belajar sedari SD, SMP, SMA, dan kuliah
adalah untuk menjadi seorang pengangguran?
Melihat sistem pendidikannya saja
masih cukup miris. Ambil satu kasus: Ujian dengan multiple choice. Bukankah
multiple choice adalah memberi soal ujian beserta jawabannya? Cukup instan,
kita tidak perlu pintar berlogika untuk menjawabnya, tinggal pilih saja, seseorang
yang beruntung pun bisa menjawabnya dengan tepat. Tapi bukankah kita mengharapkan
lulusan orang-orang berkualitas yang mampu berpikir dan mensintesa masalah
dengan logikanya? Ataukah kita mengharapkan lulusan orang-orang yang beruntung?
Kasus yang lebih menggelikan adalah memberi soal listening bahasa inggris
kepada siswa-siswa tunarungu. Ini pendidikan, ataukah lelucon?
“Ujian nasional yang dijalankan
pemerintah adalah sesuatu yang keblinger”. Ini adalah tanggapan Guru Besar
Matematika ITB, Prof. DR. Iwan Pranoto. “Soal matematika sesulit ini hanya bisa
diselesaikan dengan menghafal rumus cepat yang diajarkan di bimbel. Semestinya
soal ujian adalah menggali logika siswa dalam menghadapi masalah. Menghafal
adalah kegiatan bernalar paling rendah, biarkan itu ditangani komputer.
Seharusnya yang didorong adalah bernalar yang tidak bisa dilakukan komputer”.
Solusi?
Entahlah, tulisan ini bukan suatu
judgement, hanya sekedar pengingat semata. Bahwa masih ada ‘something wrong’
pada sistem pendidikan kita. Ini PR untuk kita dan juga generasi penerus.
Memang tidak ada satu hal yang mampu berdiri ideal di dunia ini, tetapi upaya
ke arah perbaikan semestinya harus selalu dilakukan, apalagi kondisi pendidikan
sekarang yang terlampau jauh, jauh dari kata memuaskan. Ibarat mengarungi
lautan, kini kita berada pada kapal dan arah yang salah. Segera putar halauan,
atau andai ada mukjizat, ganti kapal sekaligus, demi Indonesia yang jauh lebih
baik.
Lantas apa yang bisa kita lakukan
sekarang? Sebagai insan yang tak dapat berbuat banyak pada sistem yang begitu
besar berjalan, mari perbaiki paradigma pribadi kita, stop pemikiran instan.
Mari menjadi manusia dengan pribadi realistis. Jangan duakan kemampuan kita,
jangan bohongi seberapa kuat tanggung jawab yang mampu dibebankan pada pundak
kita sendiri. Membohongi diri sendiri justru tidak akan memberi kesadaran
tanggung jawab atas segala hal yang kita gapai. Hingga nantinya capaian cita
dan asa yang telah kita gantungkan akan murni, bukan digapai atas mark-up,
kepalsuan, sogokan, pelicin, atau kecurangan apapun itu. Tapi lebih kepada
kesadaran pribadi bahwa kita mampu dan bisa menggapainya.
“Gantungkan cita-citamu setinggi
atap kamarmu. Karena jika kau tak mampu menggapainya, jatuh setinggi atap kamar
jauh lebih mending daripada jatuh dari atap langit.” Mungkin kata-kata ini terdengar
lebih manusiawi ketimbang yang sering kita dengar. Tapi begitulah, mungkin
rembulan di atas sana juga lebih menyukainya, tentu karena ia tidak suka
melihat jutaan orang jatuh dari langit. Itu horor!
Semoga tiap-tiap pribadi mampu
realistis, menemukan potensi dirinya, hingga ia bisa menggapai cita-cita sesuai
yang ia harapkan, sesuai yang telah ia gantungkan. Di atap langit kamarnya
tentunya. Hingga akhirnya gapaian itu dapat memberi cahaya bagi diri dan setiap
insan di sekelilingnya. Sesuai lagu yang terdengar indah malam ini:
“Bintang di langit kerlip engkau
di sana. Memberi cahayanya di setiap insan..”
Mari bernyanyi :)
Tulisan ini juga telah dipublikasikan via shvoong.