6.5.12

Taburan Bintang di Atap Kamar


Jutaan bintang bertaburan menghiasi supermoon. Kilaunya memikat hati, seakan lengkap menghiasi sang rembulan yang memang terlihat lebih besar, dengan paras cantik yang nampak tersipu malu menyambut jutaan pasang mata yang menyaksikannya. Bulan memang primadona malam ini, tapi kerlip hamparan bintang di langit yang bersih bagaikan permadani yang luar biasa luas, cukup memukau dan memanjakan ketentraman hati bagi siapapun yang memandangnya. 

“Bintang di langit, kerlip engkau di sana. Memberi cahayanya di setiap insan..” 
Lagu ini keluar begitu saja mengiringi euforia ketakjuban panorama malam yang mengagumkan. Tiba-tiba entah darimana, memoriku terbawa pada sederet kata-kata ‘orang penting’ negeri ini: “Indonesia ini aneh, kita diajari belajar tinggi, bercita-cita tinggi, harapan yang muluk-muluk setinggi bintang di langit. Tapi kita tidak diajari mengenal apa itu kekecewaan. Padahal di balik setiap harapan dan cita-cita, selalu ada kekecewaan”

Itu adalah kata-kata Bob Sadino, seorang entrepreneur sukses yang terkenal ‘nyeleneh’ dan kritis dalam suatu acara TalkShow layar kaca beberapa saat lalu. Kata-katanya praktis menempatkan dirinya secara frontal bertentangan dengan arus paradigma pendidikan negeri ini. Bukankah sedari SD kita disuruh untuk menggantungkan cita-cita kita setinggi bintang di langit?


Ya. Pada kenyataannya pendidikan Indonesia mengajarkan kita untuk berkhayal dan berimajinasi tinggi, menggantungkan asa dan cita setinggi bintang di langit, sebenarnya ini tidak menjadi masalah. Tetapi yang menjadi persoalan adalah pendidikan kita tidak mengajarkan apa resikonya. Pendidikan Indonesia mengajarkan begitu banyak harapan, berekspektasi positif, berimajinasi setinggi mungkin. Namun lupa untuk mengajarkan apa itu kekecewaan, bagaimana mengatasi kekecewaan, dan segala resiko kekecewaan terkait harapan-harapan yang tak tergapai, yang sudah telanjur ditempelkan di atap langit sana. Serasa tidak berimbang, berat sebelah, dan jauh dari realistis.

Tak mengherankan jika pendidikan negeri ini banyak memberi lulusan-lulusan ‘galau’. Tidak mau kecewa dengan upayanya, akhirnya memakai cara-cara instan, demen segala hal yang berbau instan dalam menggapai sesuatu. Melahirkan pribadi-pribadi doyan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pokoknya target tujuan yang dimaui harus terlaksana, entah dengan cara apapun. Jika gagal? Tengok saja rumah sakit jiwa, berapa banyak anggota calon legislatif yang masuk ke sana untuk direhabilitasi tiap putaran pemilihan pemimpin wilayah, entah setingkat daerah, provinsi, maupun taraf nasional. Apa itu kalo bukan lulusan-lulusan ‘galau’? Ini hanya yang ‘besar-besar’, fenomena yang mudah diamati. Jauh di akar rumput sana, bagaikan fenomena gunung es, lebih banyak lagi kasus-kasus ‘kegalauan’ ini terjadi.

Siapa yang salah sebenarnya? 

Entah, yang jelas sistem bertanggung jawab pada kualitas produk yang tercetak. Kalau mesinnya saja tidak proporsional, bagaimana bisa mengharapkan standar produk yang berkualitas? Bahkan, bicara soal produk, ada berapa juta lulusan sarjana dan diploma yang pengangguran di negeri ini? Jadi kita belajar sedari SD, SMP, SMA, dan kuliah adalah untuk menjadi seorang pengangguran?

Melihat sistem pendidikannya saja masih cukup miris. Ambil satu kasus: Ujian dengan multiple choice. Bukankah multiple choice adalah memberi soal ujian beserta jawabannya? Cukup instan, kita tidak perlu pintar berlogika untuk menjawabnya, tinggal pilih saja, seseorang yang beruntung pun bisa menjawabnya dengan tepat. Tapi bukankah kita mengharapkan lulusan orang-orang berkualitas yang mampu berpikir dan mensintesa masalah dengan logikanya? Ataukah kita mengharapkan lulusan orang-orang yang beruntung? Kasus yang lebih menggelikan adalah memberi soal listening bahasa inggris kepada siswa-siswa tunarungu. Ini pendidikan, ataukah lelucon?

“Ujian nasional yang dijalankan pemerintah adalah sesuatu yang keblinger”. Ini adalah tanggapan Guru Besar Matematika ITB, Prof. DR. Iwan Pranoto. “Soal matematika sesulit ini hanya bisa diselesaikan dengan menghafal rumus cepat yang diajarkan di bimbel. Semestinya soal ujian adalah menggali logika siswa dalam menghadapi masalah. Menghafal adalah kegiatan bernalar paling rendah, biarkan itu ditangani komputer. Seharusnya yang didorong adalah bernalar yang tidak bisa dilakukan komputer”. 


Solusi?

Entahlah, tulisan ini bukan suatu judgement, hanya sekedar pengingat semata. Bahwa masih ada ‘something wrong’ pada sistem pendidikan kita. Ini PR untuk kita dan juga generasi penerus. Memang tidak ada satu hal yang mampu berdiri ideal di dunia ini, tetapi upaya ke arah perbaikan semestinya harus selalu dilakukan, apalagi kondisi pendidikan sekarang yang terlampau jauh, jauh dari kata memuaskan. Ibarat mengarungi lautan, kini kita berada pada kapal dan arah yang salah. Segera putar halauan, atau andai ada mukjizat, ganti kapal sekaligus, demi Indonesia yang jauh lebih baik. 

Lantas apa yang bisa kita lakukan sekarang? Sebagai insan yang tak dapat berbuat banyak pada sistem yang begitu besar berjalan, mari perbaiki paradigma pribadi kita, stop pemikiran instan. Mari menjadi manusia dengan pribadi realistis. Jangan duakan kemampuan kita, jangan bohongi seberapa kuat tanggung jawab yang mampu dibebankan pada pundak kita sendiri. Membohongi diri sendiri justru tidak akan memberi kesadaran tanggung jawab atas segala hal yang kita gapai. Hingga nantinya capaian cita dan asa yang telah kita gantungkan akan murni, bukan digapai atas mark-up, kepalsuan, sogokan, pelicin, atau kecurangan apapun itu. Tapi lebih kepada kesadaran pribadi bahwa kita mampu dan bisa menggapainya. 

“Gantungkan cita-citamu setinggi atap kamarmu. Karena jika kau tak mampu menggapainya, jatuh setinggi atap kamar jauh lebih mending daripada jatuh dari atap langit.” Mungkin kata-kata ini terdengar lebih manusiawi ketimbang yang sering kita dengar. Tapi begitulah, mungkin rembulan di atas sana juga lebih menyukainya, tentu karena ia tidak suka melihat jutaan orang jatuh dari langit. Itu horor!


Semoga tiap-tiap pribadi mampu realistis, menemukan potensi dirinya, hingga ia bisa menggapai cita-cita sesuai yang ia harapkan, sesuai yang telah ia gantungkan. Di atap langit kamarnya tentunya. Hingga akhirnya gapaian itu dapat memberi cahaya bagi diri dan setiap insan di sekelilingnya. Sesuai lagu yang terdengar indah malam ini:

“Bintang di langit kerlip engkau di sana. Memberi cahayanya di setiap insan..”
Mari bernyanyi :)
Tulisan ini juga telah dipublikasikan via shvoong.

Powered by Blogger.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP