Namaku Irfan Bu
Seperti biasa, tepat
sebelum subuh blanko follow-up bangsal sudah terisi. Ada 14 pasien. Jumlah segitu
sebenarnya tidaklah banyak. Tapi karena harus dikerjakan sendirian, kadang rasa
berat datang menyergap dan mengendorkan semangat. Betapa tidak? Timbunan tugas saban
hari hampir mencekik leher, mulai dari ‘ngereng status’, follow-up pasien
bangsal, pengawasan pasien ibu-ibu hamil, laporan kuretase, laporan persalinan,
admission pasien baru, dan partus itu sendiri dengan segenap pernak perniknya bagaikan
tumpukan batu bata yang satu demi satu sekonyong-konyong diletakkan begitu saja
di pundakku tanpa permisi. “Stop mengeluh dan kamu bukan anak manja!”,
kata-kata ini terus kuucapkan pada diriku sendiri. Terngiang-ngiang sembari
berbenturan dengan serangan kantuk yang dahsyat, rasa cape yang luar biasa,
sekaligus penat yang bercampur aduk menjadi satu. Satu-dua jam tidur perhari
memang tak cukup, tapi seminggu tugas di RS ini menurutku bukanlah rentang waktu
yang lama untuk bertahan.
***
Pagi belum juga
menyingsing, tapi subuh telah terpecah oleh suara tangis bayi dari VK. “Welcome
to the world!”, gumamku pada bayi yang baru saja kubantu lahir. Bagus, si kecil
langsung menangis, sembari mengklem tali pusatnya yang ternyata rada panjang, kulihat
jam dinding menunjukkan pukul 4.25 WIB.
“Laki-laki apa
perempuan nggih pak dokter?” terdengar suara si ibu lirih,
“Oh, ganteng qo bu!
Selamat ya.. putra pertamanya cowo”, jawabku..
Tak berapa lama
plasenta si kecil turut lahir. Segera kuambil kassa steril, kucelupkan dalam
iodin. Kuperas sampai tak berasa basah dalam genggaman. Kuperiksa rahim dan
luka akibat prosesi lahiran yang memang memakan waktu lama itu. Maklum, kala I
si ibu ini lama, hingga harus diberi tambahan pemacu agar si kecil segera
lahir.
“Lukanya dijahit ya bu,
nanti kalo ngga dijahit perdarahan”, ucapku pada si ibu yang masih nampak
merintih kesakitan.
“Jahit berapa dok? Ngga
banyak kan?”
“Butuh 100 jahitan bu”,
sontak si ibu kaget. “Masa segitu dokk??”
“Lho nanti kalo saya
bilang 15 ternyata kurang kan malah repot, he he he. Mending banyak tp ternyata
dikit”, jawabku sambil bercanda sekenanya.
Si ibu tertawa kecut.
Mungkin mau tertawa lepas tapi tertahan karena nyeri yang masih dia rasakan.
Kuambil benang dan segera ku jahit lukanya. Partus di Boyolali terbilang cukup
banyak, dan residen Obsgyn yang sedang bertugas memang sengaja menyuruhku
memimpin sekaligus hecting lukanya. Tentu di bawah supervisi pengawasan
darinya.
Luka hampir selesai
terjahit rapi, si ibu tiba-tiba bertanya,
“Dokter namanya siapa
ya?”
“Lho buat apa bu tahu
nama saya?” jawabku keheranan.
“Andai boleh dok, anak
saya mau saya kasih namanya dokter? Kan yang bantuin lairan njenengan.”
Sontak, beberapa detik
pikiranku hening sejenak. Subhanallah, ada yang mau membubuhkan namaku untuk nama
buah hati yang dicintainya? Entah, tak pernah sekalipun terbayangkan
sebelumnya. Pernahkah kau merasakan kawan? rasa haru yang tiba-tiba menyeruak
begitu saja? Haru karena ternyata kinerja kita dihargai. Keringat kita
dihargai. Haru karena menjumpai sesuatu yang menyentuh, suatu bentuk ucapan
terimakasih yang bahkan melebihi ucapan lisannya meski diucap dengan penuh ikhlas.
Mungkin ini sepele, tapi sangat menyentuh dan serasa sangat sensitif. Suatu
bentuk penghargaan yang tak bisa dinilai dengan rupiah atau bentuk lain
sekalipun.
“Boleh ngga dok?”,
tiba-tiba aku terhenyak oleh suara si ibu yang kembali menanyakan.
“Oh boleh bu, nama saya
irfan..” jawabku.
“Iya, biar besok-besok
dia tahu dok, kalo yang nolongin lairan tu namanya dokter irfan”
Aku hanya tersenyum
saja mendengarnya. Sebagaimana pagi ini hatiku pun turut tersenyum. Entah
mengapa. Bagaikan gayung bersambut, sebagai coas yang memuliakan pasien sebagai
gurunya, apa yang kami kerjakan adalah apa yang terbaik dari yang kami bisa, sembari
belajar dan terus belajar. Dan apa yang ku rasakan pagi ini adalah bagaikan
mendapat pujian sekaligus terimakasih dari seorang guru yang kami muliakan. Dan
serta merta, seakan guyuran hujan dari surga turun deras membasahi hati,
seluruh tumpukan penat dan peluh seperti lumer begitu saja, hanyut tak
berbekas. Ternyata keiklasan selalu memberi nilai lebih, dalam kasus ini bukanlah
karena nama kita yang turut terbubuhkan semata, tapi justru lebih karena nilai
semangat yang muncul setelahnya yang memberi dampak psikologis yang luar biasa,
yang tak mampu dilukiskan lagi dengan kata-kata.
Dalam hati aku hanya mampu
berujar, “Terimakasih ya Rabb,, atas semuanya..”
Boyolali, Agustus 2012