29.8.12

Namaku Irfan Bu

Seperti biasa, tepat sebelum subuh blanko follow-up bangsal sudah terisi. Ada 14 pasien. Jumlah segitu sebenarnya tidaklah banyak. Tapi karena harus dikerjakan sendirian, kadang rasa berat datang menyergap dan mengendorkan semangat. Betapa tidak? Timbunan tugas saban hari hampir mencekik leher, mulai dari ‘ngereng status’, follow-up pasien bangsal, pengawasan pasien ibu-ibu hamil, laporan kuretase, laporan persalinan, admission pasien baru, dan partus itu sendiri dengan segenap pernak perniknya bagaikan tumpukan batu bata yang satu demi satu sekonyong-konyong diletakkan begitu saja di pundakku tanpa permisi. “Stop mengeluh dan kamu bukan anak manja!”, kata-kata ini terus kuucapkan pada diriku sendiri. Terngiang-ngiang sembari berbenturan dengan serangan kantuk yang dahsyat, rasa cape yang luar biasa, sekaligus penat yang bercampur aduk menjadi satu. Satu-dua jam tidur perhari memang tak cukup, tapi seminggu tugas di RS ini menurutku bukanlah rentang waktu yang lama untuk bertahan. 

*** 

Pagi belum juga menyingsing, tapi subuh telah terpecah oleh suara tangis bayi dari VK. “Welcome to the world!”, gumamku pada bayi yang baru saja kubantu lahir. Bagus, si kecil langsung menangis, sembari mengklem tali pusatnya yang ternyata rada panjang, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 4.25 WIB.

“Laki-laki apa perempuan nggih pak dokter?” terdengar suara si ibu lirih,
“Oh, ganteng qo bu! Selamat ya.. putra pertamanya cowo”, jawabku..

Tak berapa lama plasenta si kecil turut lahir. Segera kuambil kassa steril, kucelupkan dalam iodin. Kuperas sampai tak berasa basah dalam genggaman. Kuperiksa rahim dan luka akibat prosesi lahiran yang memang memakan waktu lama itu. Maklum, kala I si ibu ini lama, hingga harus diberi tambahan pemacu agar si kecil segera lahir.

“Lukanya dijahit ya bu, nanti kalo ngga dijahit perdarahan”, ucapku pada si ibu yang masih nampak merintih kesakitan.
“Jahit berapa dok? Ngga banyak kan?”
“Butuh 100 jahitan bu”, sontak si ibu kaget. “Masa segitu dokk??”
“Lho nanti kalo saya bilang 15 ternyata kurang kan malah repot, he he he. Mending banyak tp ternyata dikit”, jawabku sambil bercanda sekenanya.

Si ibu tertawa kecut. Mungkin mau tertawa lepas tapi tertahan karena nyeri yang masih dia rasakan. Kuambil benang dan segera ku jahit lukanya. Partus di Boyolali terbilang cukup banyak, dan residen Obsgyn yang sedang bertugas memang sengaja menyuruhku memimpin sekaligus hecting lukanya. Tentu di bawah supervisi pengawasan darinya.

Luka hampir selesai terjahit rapi, si ibu tiba-tiba bertanya,
“Dokter namanya siapa ya?”
“Lho buat apa bu tahu nama saya?” jawabku keheranan.
“Andai boleh dok, anak saya mau saya kasih namanya dokter? Kan yang bantuin lairan njenengan.”

Sontak, beberapa detik pikiranku hening sejenak. Subhanallah, ada yang mau membubuhkan namaku untuk nama buah hati yang dicintainya? Entah, tak pernah sekalipun terbayangkan sebelumnya. Pernahkah kau merasakan kawan? rasa haru yang tiba-tiba menyeruak begitu saja? Haru karena ternyata kinerja kita dihargai. Keringat kita dihargai. Haru karena menjumpai sesuatu yang menyentuh, suatu bentuk ucapan terimakasih yang bahkan melebihi ucapan lisannya meski diucap dengan penuh ikhlas. Mungkin ini sepele, tapi sangat menyentuh dan serasa sangat sensitif. Suatu bentuk penghargaan yang tak bisa dinilai dengan rupiah atau bentuk lain sekalipun.

“Boleh ngga dok?”, tiba-tiba aku terhenyak oleh suara si ibu yang kembali menanyakan.
“Oh boleh bu, nama saya irfan..” jawabku.
“Iya, biar besok-besok dia tahu dok, kalo yang nolongin lairan tu namanya dokter irfan”

Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Sebagaimana pagi ini hatiku pun turut tersenyum. Entah mengapa. Bagaikan gayung bersambut, sebagai coas yang memuliakan pasien sebagai gurunya, apa yang kami kerjakan adalah apa yang terbaik dari yang kami bisa, sembari belajar dan terus belajar. Dan apa yang ku rasakan pagi ini adalah bagaikan mendapat pujian sekaligus terimakasih dari seorang guru yang kami muliakan. Dan serta merta, seakan guyuran hujan dari surga turun deras membasahi hati, seluruh tumpukan penat dan peluh seperti lumer begitu saja, hanyut tak berbekas. Ternyata keiklasan selalu memberi nilai lebih, dalam kasus ini bukanlah karena nama kita yang turut terbubuhkan semata, tapi justru lebih karena nilai semangat yang muncul setelahnya yang memberi dampak psikologis yang luar biasa, yang tak mampu dilukiskan lagi dengan kata-kata.


 Dalam hati aku hanya mampu berujar, “Terimakasih ya Rabb,, atas semuanya..”

Boyolali, Agustus 2012

Tulisan ini juga telah dipublikasikan via shvoong.

Powered by Blogger.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP