Memori dan Keajaiban Pagi
Embun menggeliat. Sayup-sayup sinar mentari mulai menyisip diantara dedaunan yang basah oleh hujan semalaman, membangunkan tiap-tiap bulir embun untuk segera beranjak pergi. Suara kokok ayam membuncah memecah sunyi, turut menabuh genderang bahwa pagi kan segera datang. Sedang di pucuk pepohonan sana, burung-burung bahkan sudah sibuk berkicau saling melempar sapa. Semua seakan merangkai melodi-melodi lama yang dulu serasa akrab di telinga. Ahh, inilah pagi. Pagi yang menakjubkan di kotaku tercinta. Jogjakarta.
“Hidup terlalu cepat bergulir”, gumamku. Setahun lalu seperti kemarin sore saja. Setahun lalu aku berbaring di kamar ini, dengan kaki patah dan berbalut bebat, harus beristirahat dan memandangi pagi yang indah seperti ini, setiap hari. Berbulan-bulan lamanya. Dan kini aku kembali lagi di sini, dalam suasana yang entah mengapa seperti sekonyong-konyong mengembalikan semua ingatan itu dalam sekejap saja. Membuatku merasa seakan baru kemarin sore merasakan akrabnya pagi yang seperti ini.
Mungkin memang demikian, memori tak pernah benar-benar mati, ia akan selalu membawa kita kembali ke suatu titik tertentu dalam hidup. Sejauh apapun kaki kita melangkah, sejauh apapun kita telah meninggalkannya. Menembus ruang, dan menembus waktu.
Kini teman-teman seperjuangan telah jauh di depan sana. Ada yang jadi dokter IGD, dokter puskesmas, beragam rumah sakit, beragam klinik dan dokter perusahaan seantero Indonesia raya, dosen pengajar, bahkan mendaftar PPDS. Ya, mereka luar biasa. Bangga sekali melihat kalian kawan. Menjadi optimisme tersendiri melihat kesuksesan-kesuksesan kalian. Dan aku bersyukur segenap memori pagi ini memberi berjuta semangat dalam dada. Kaki ini sudah sembuh, aku ingin segera berlari, berlari mengejar kalian dan menjadi bagian dari segenap kesuksesan-kesuksesan itu. Berkah dan sukses untuk kita semua. Amin.