15.5.13

Suatu Hari di Negeri Antah Berantah

Dipandanginya sahabatnya itu lekat-lekat. Sembari mengusap-usap ujung kepalanya yang besar, Toni berujar, “sering-sering ke sini ya..”. Si paus pun tersenyum kegelian sembari menggoyang-goyang ekornya laksana anjing yang diusap kepalanya oleh tuannya. Udara hangat dan angin sepoi-sepoi membungkus pertemuan kedua makhluk beda habitat itu. Di negeri antah berantah, yang luar biasa indah.

Negeri ini memang indahnya memukau. Tidak ada satupun yang buruk rupa. Lahannya luas subur, tanamannya hijau dan rimbun. Musim datang dan berlalu dengan teratur. Penduduknya makmur. Tak ada yang kekurangan, semua yang hidup di negeri ini tercukupi kebutuhannya, bahkan tanpa bekerja sekalipun. Pekerjaan yang dilakukan hanyalah pengisi waktu semata, tak lebih. Dan hal yang paling unik dan luar biasa adalah, di negeri ini apapun mungkin. Semua batasan dan kemustahilan di dunia tidak dijumpai di sini. Artinya, apapun bisa terjadi. Sesuai kehendak pikiranmu. Kau ingin terbang? Terbang saja. Kau ingin menyelam ke dasar lautan tanpa peralatan selam? Bisa saja. Ini antah berantah bung, semua bisa terjadi di sini. Bahkan Toni bisa bertemu dan berbincang dengan sahabatnya si paus sperma dari lautan dalam sana. 

Read More ...

14.5.13

Memori dan Keajaiban Pagi

Embun menggeliat. Sayup-sayup sinar mentari mulai menyisip diantara dedaunan yang basah oleh hujan semalaman, membangunkan tiap-tiap bulir embun untuk segera beranjak pergi. Suara kokok ayam membuncah memecah sunyi, turut menabuh genderang bahwa pagi kan segera datang. Sedang di pucuk pepohonan sana, burung-burung bahkan sudah sibuk berkicau saling melempar sapa. Semua seakan merangkai melodi-melodi lama yang dulu serasa akrab di telinga. Ahh, inilah pagi. Pagi yang menakjubkan di kotaku tercinta. Jogjakarta.

 “Hidup terlalu cepat bergulir”, gumamku. Setahun lalu seperti kemarin sore saja. Setahun lalu aku berbaring di kamar ini, dengan kaki patah dan berbalut bebat, harus beristirahat dan memandangi pagi yang indah seperti ini, setiap hari. Berbulan-bulan lamanya. Dan kini aku kembali lagi di sini, dalam suasana yang entah mengapa seperti sekonyong-konyong mengembalikan semua ingatan itu dalam sekejap saja. Membuatku merasa seakan baru kemarin sore merasakan akrabnya pagi yang seperti ini.

Mungkin memang demikian, memori tak pernah benar-benar mati, ia akan selalu membawa kita kembali ke suatu titik tertentu dalam hidup. Sejauh apapun kaki kita melangkah, sejauh apapun kita telah meninggalkannya. Menembus ruang, dan menembus waktu.

Read More ...

29.8.12

Namaku Irfan Bu

Seperti biasa, tepat sebelum subuh blanko follow-up bangsal sudah terisi. Ada 14 pasien. Jumlah segitu sebenarnya tidaklah banyak. Tapi karena harus dikerjakan sendirian, kadang rasa berat datang menyergap dan mengendorkan semangat. Betapa tidak? Timbunan tugas saban hari hampir mencekik leher, mulai dari ‘ngereng status’, follow-up pasien bangsal, pengawasan pasien ibu-ibu hamil, laporan kuretase, laporan persalinan, admission pasien baru, dan partus itu sendiri dengan segenap pernak perniknya bagaikan tumpukan batu bata yang satu demi satu sekonyong-konyong diletakkan begitu saja di pundakku tanpa permisi. “Stop mengeluh dan kamu bukan anak manja!”, kata-kata ini terus kuucapkan pada diriku sendiri. Terngiang-ngiang sembari berbenturan dengan serangan kantuk yang dahsyat, rasa cape yang luar biasa, sekaligus penat yang bercampur aduk menjadi satu. Satu-dua jam tidur perhari memang tak cukup, tapi seminggu tugas di RS ini menurutku bukanlah rentang waktu yang lama untuk bertahan. 

Read More ...

9.7.12

Gula-Gula Hati dalam Secangkir Kopi


Kopi berisi sejengkal kepahitan, dan beribu-ribu ton candu. Memikat hati dengan aromanya yang membuai. Tandem dengan sedasi kecil-kecil yg membuncahkan asa di hati. Cukup sesruput, dan itu sudah membuatmu ingin menaklukkan dunia.

Tak usah bertanya mengapa aku menyukai kopi. Karena aku bakal balik bertanya padamu mengapa kau menyukai tidur siang, naik gunung, atau sekedar menyanyikan lagu dengan gitar bututmu. Diplomasi tak akan memberi jawaban memuaskan mengapa hobi hadir di bumi. Tuhan lebih tahu jawabannya dengan memberimu ‘sepasang hati’ yang lembut di sebelah kanan lambungmu itu. Sepasang hati?

Read More ...

6.5.12

Taburan Bintang di Atap Kamar


Jutaan bintang bertaburan menghiasi supermoon. Kilaunya memikat hati, seakan lengkap menghiasi sang rembulan yang memang terlihat lebih besar, dengan paras cantik yang nampak tersipu malu menyambut jutaan pasang mata yang menyaksikannya. Bulan memang primadona malam ini, tapi kerlip hamparan bintang di langit yang bersih bagaikan permadani yang luar biasa luas, cukup memukau dan memanjakan ketentraman hati bagi siapapun yang memandangnya. 

“Bintang di langit, kerlip engkau di sana. Memberi cahayanya di setiap insan..” 
Lagu ini keluar begitu saja mengiringi euforia ketakjuban panorama malam yang mengagumkan. Tiba-tiba entah darimana, memoriku terbawa pada sederet kata-kata ‘orang penting’ negeri ini: “Indonesia ini aneh, kita diajari belajar tinggi, bercita-cita tinggi, harapan yang muluk-muluk setinggi bintang di langit. Tapi kita tidak diajari mengenal apa itu kekecewaan. Padahal di balik setiap harapan dan cita-cita, selalu ada kekecewaan”

Itu adalah kata-kata Bob Sadino, seorang entrepreneur sukses yang terkenal ‘nyeleneh’ dan kritis dalam suatu acara TalkShow layar kaca beberapa saat lalu. Kata-katanya praktis menempatkan dirinya secara frontal bertentangan dengan arus paradigma pendidikan negeri ini. Bukankah sedari SD kita disuruh untuk menggantungkan cita-cita kita setinggi bintang di langit?

Read More ...
Powered by Blogger.

  © Blogger template 'Personal Blog' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP